Rabu, Januari 11, 2012

EFEKTIFITAS PENERAPAN PERKAP NO 1 TAHUN 2009 TENTANG PENGGUNAAN KEKUATAN DALAM TINDAKAN KEPOLISIAN


A.      PENDAHULUAN
Di dalam Undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, tepatnya pada pasal 1 ayat 2 dikatakan bahwa, “Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran”. Dari pengertian demonstrasi menurut Undang-undang tersebut, demonstrasi juga berarti unjuk rasa. Demonstrasi adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak. Akhir-akhir ini terjadi trend dimana unjuk rasa/demonstrasi terkadang berujung pada pengrusakan terhadap benda-benda/kerusuhan. Kerusuhan terjadi ketika sekelompok orang berkumpul bersama untuk melakukan tindak kekerasan, biasanya sebagai tindak balas terhadap perlakuan yang dianggap tidak adil ataupun sebagai upaya penentangan terhadap sesuatu. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Rusuh di definisikan tidak aman karena banyak gangguan keamanan, kacau, ribut, gaduh, huru hara tidak sopan, sangat kasar, tidak beraturan, tidak menurut aturan. Kerusuhan hampir sama dengan tindakan anarki. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anarki diartikan dalam dua arti yaitu hal tidak adanya pemerintahan undang undang, peraturan atau ketertiban dan atau kekacauan dalam suatu Negara.
Polisi sebagai aparat yang utamanya bertanggung jawab di bidang keamanan dan ketertiban dalam pelaksanaan tugasnya akan selalu dihadapkan pada situasi dan kondisi yang berubah-ubah sejalan dengan dinamika masyarakat itu sendiri. Ketika terjadi bentrokan antara massa dan petugas POLRI dalam berbagai kejadian unjuk rasa ataupun peristiwa "chaos" lainnya, seringkali POLRI dianggap tidak dapat menunjukkan prinsip-prinsip Good Governance. Bahkan dalam pemberitaan di media televisi atau surat kabar, yang sering jadi topik hangat adalah POLRI selalu di salahkan sebagai pelaku pelanggaran HAM. Padahal massa sendiri sudah sangat brutal dan tindakannya dapat mengancam keselamatan masyarakat sekitarnya dan jiwa petugas POLRI sendiri. Sebaliknya, ketika petugas yang menjadi korban, sering kali luput dari perhatian media maupun masyarakat, dan malahan sering terabaikan.
Bagi korban di pihak massa sudah pasti berlaku perlindungan Hak Asasi Manusia, namun bagaimana dengan Polisinya, apakah HAM juga berlaku bagi Polisi saat menjalankan tugas, yang hakekatnya ia bertindak atas nama hukum dan negara.

B.       PEMBAHASAN
Guna mengantisipasi tindakan yang di lakukan POLRI saat mengatasi kerusuhan massa, dan untuk dapat mewujudkan Good Governance di dalam institusi POLRI, maka di susunlah suatu aturan untuk melindungi petugas ketika ia tengah melaksanakan pekerjaannya. Saat terjadi tindakan anarkhis dalam suatu unjuk rasa atau kegiatan lainnya, dalam rangka menegakkan hukum dan menciptakan keamanan dan ketertiban, maka POLRI terkadang harus menggunakan suatu tindakan yang dinamakan Tindakan Kepolisian. Agar tindakan ini terukur, mempunyai standar dan dapat dipertanggungjawabkan, maka selanjutnya POLRI mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Ada prosedur dalam penanganan suatu tindakan kerusuhan massa. Apabila tindakan kekerasan terjadi namun sesuai dengan Perkap ini dan dapat di pertanggung jawabkan, maka personil tersebut akan mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum.
Yang dimaksud dengan tindakan kepolisian dalam perkap ini adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa raga, harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat. Dan yang di maksud dengan penggunaan kekuatan adalah segala penggunaan/pengerahan daya, potensi atau kemampuan anggota Polri dalam rangka melaksanakan tindakan kepolisian. Yang dimaksud dengan Mempertahankan diri dan/atau masyarakat adalah tindakan yang diambil oleh anggota Polri untuk melindungi diri sendiri atau masyarakat, atau harta benda atau kehormatan kesusilaan dari bahaya yang mengancam secara langsung.
Tugas dan wewenang anggota POLRI berdasarkan  Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian adalah:
A.    Enam Prinsip Penggunaan Kekuatan, yaitu:
1.      Legalitas (harus sesuai hukum)
2.      Nessesitas ( penggunaan kekuatan memang perlu diambil)
3.      Proporsionalitas (dilaksanakan seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tindakan POLRI)
4.      Kewajiban Umum (Petugas bertindak dengan penilaiaannya sendiri berdasarkan situasi & kondisi yang bertujuan menciptakan kamtibmas)
5.      Preventif (mengutamakan pencegahan)
6.      Masuk akal (tindakan diambil dengan alasan yang logis berdasarkan ancaman yang dihadapi)
B.     Enam Tahapan Penggunaan Kekuatan:
1.      Kekuatan yang memiliki dampak deteren (berupa kehadiran aparat POLRI atau kendaran dengan atribut POLRI atau lencana)
2.      Perintah lisan (ada komunikasi atau perintah, contoh : "POLISI, jangan bergerak!")
3.      Kendali tangan kosong lunak (dengan gerakan membimbing atau kuncian tangan yang kecil timbulkan cedera fisik)
4.      Kendali tangan kosong keras (ada kemungkinan timbulkan cedera, contoh dengan bantingan atau tendangan yang melumpuhkan)
5.      Kendali senjata tumpul (Sesuai dengan perlawanan tersangka, berpotensi luka ringan, contoh dengan menggunakan gas air mata dan tongkat polisi)
6.      Kendali dengan menggunakan senjata api (tindakan terakhir dengan pertimbangan membahayakan korban, masayarakat dan petugas)

Kebijakan ini tentunya menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat sebagai target group, dan akan muncul pengaruh dan tekanan dari faktor lingkungan di sekitarnya. Masyarakat ada yang menganggap Protap ini sebagai upaya POLRI membenarkan setiap tindak kekerasan yang di lakukan. Namun ada juga yang setuju karena merasa kasihan dimana POLRI selalu tersudut saat harus mengamankan tindak demonstrasi yang sudah anarkhi. Kalangan mahasiswa atau yang sering berdemo menganggap hal tersebut sebagai trik POLRI untuk bertindak sewenang-wenang saat mengamankan demonstrasi, dan masih banyak lagi pro dan kontra lainnya. Bahkan di lingkup institusi POLRI sendiri masih terjadi keraguan anggota dimana saat nantinya bertugas dan melakukan  tindakan sesuai dengan protap tersebut tetap di salahkan karena di kalahkan dengan opini publik. Namun dengan di buatnya kebijakan ini, sudah merupakan langkah maju dari pimpinan POLRI untuk menjaga kredibilitas POLRI sebagai aparat penegak hukum dan wujud penerapan prinsip-prinsip Good Governance. Dengan kebijakan ini, maka tindakan POLRI yang dilakukan dalam mengatasi tindak anarkhisme massa dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini sangat baik, karena HAM adalah milik semua manusia termasuk POLRI, dan tidak hanya milik massa yang berdemo dan akhirnya melakukan tindak anarkhi dengan dalih mengatasnamakan rakyat yang kecewa. Prosedur yang diterapkan sudah memenuhi unsur-unsur eskalasi dari yang paling ringan sampai dengan yang paling berat. Penggunaan senjata api pun merupakan opsi terakhir digunakan bilamana keselamatan korban, petugas dan masyarakat lain sudah terancam. Hal lain yang menarik dalam Perkap ini adalah dalam pasal 13 ayat 2 dinyatakan bahwa petugas POLRI di lapangan saat menerima perintah dari atasannya namun tidak melaksanakannya karena si petugas beranggapan bahwa tindakan sang atasan bertentangan dengan peraturan, maka dalam kondisi demikian, dibenarkan untuk tidak mengikutinya. Hal ini tentunya merupakan keseimbangan dalam peran dan fungsi di dalam organisasi POLRI sendiri dimana sistem yang berlaku bukan lagi sistem militeristik. Kebijakan dari Kapolri ini merupakan wujud POLRI dalam mengimplementasikan peran dan tanggung jawab dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Selain itu wujud implementasi POLRI dalam mewujudkan Good Governance di dalam institusi POLRI juga dapat di lihat melalui penerapannya.
Jadi menurut saya, kebijakan POLRI mengeluarkan Perkap ini merupakan hal yang positif,  dan sudah sangat baik karena segala sesuatu tindakan POLRI di lapangan saat menangani kerusuhan massa dapat di pertanggungjawabkan sesuai dengan HAM dan perundang-undangan dan merupakan aplikasi dari wujud Good Governance.

C.      PENUTUP
POLRI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. POLRI juga selalu diharapkan dapat menerapkan prinsip-prinsip Good Governance di dalam institusinya. Dengan Pelaksanaan Perkap No 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian yang dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum dan tetap menghormati/menjunjung tinggi HAM merupakan salah satu wujud implementasi POLRI menerapkan Good Governance.. Bagi anggota POLRI sendiri, jaminan dan payung hukum pelaksanaan tugas di lapangan dalam melakukan tindakan kepolisian menjadi jelas dan sudah sesuai dengan standar dan peraturan yang ada dapat dipertanggungjawabkan. Namun perlu untuk dapat di tetapkan sebagai undang-undang agar payung hukum tersebut dapat lebih meyakinkan dan menjamin profesionalitas tugas POLRI di lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar