Senin, Januari 30, 2012

PERAN PSIKOLOGI BAGI PETUGAS KEPOLISIAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN SAAT PENANGANAN AKSI DEMONSTRASI


A.    PENDAHULUAN

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga dalam setiap kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang dihadapi (Dr. Yusti Probowati, 2008), dalam segala hal kehidupan manusia, termasuk permasalahan hukum. Di Indonesia, psikologi kemudian membagi bidangnya menjadi 6 yaitu psikologi klinis, perkembangan,psikologi umum dan eksperimen, psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi. Pada kenyataannya di Amerika, pembagian ini sudah menjadi lebih dari 50 bagian, mengikuti semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia. Salah satunya adalah permasalahan dalam bidang hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering dikenal sebagai psikologi forensik. Bartol & Bartol (dalam Wrightsman, 2001) menyatakan bahwa psikologi hukum dapat dibedakan menjadi :
1.    Kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-aspek perilaku manusia dalam proses hukum (seperti ingatan saksi, pengambilan keputusan juri/hakim, perilaku criminal)
2.    Profesi psikologi yang memberikan bantuan berkaitan dengan hukum. Profesi ini sudah sedemikian berkembangnya yang di mulai di negara Amerika hingga saat ini sudah berkembang di berbagai negara di dunia. Dengan melihat negara Amerika Serikat sebagai acuan, ada beberapa profesi psikologi yang berkaitan dengan hukum. Kita dapat melihat beberapa contoh antara lain Theodore Blau, yang merupakan ahli psikologi klinis yang merupakan konsultan pada Kepolisian di Amerika Serikat. Spealisasinya adalah menentukan penyebab kematian seseorang karena dibunuh atau bunuh diri. Kemudian kita juga mengenal Ericka B. Gray, yaitu seorang psikolog yang bertugas melakukan mediasi, terutama pada perkara-perkara perdata. Biasanya sebelum perkara-perkara perdata masuk ke pengadilan, maka hakim yang menanganinya akan menyuruh orang yang berperkara tersebut untuk menemui Gray terlebih dahulu agar perkara mereka dapat dimediasi. Selain itu ada juga nama John Stap, yaitu seorang psikolog social, dimana ia bekerja pada sebuah kantor pengacara. Tugasnya di sana adalah sebagai konsultan peradilan, dimana ia akan merancang hal-hal yang nantinya akan dilakukan oleh pengacara dari kantornya maupun kliennya, agar dapat memenangkan perkara mereka.

B.    PEMBAHASAN

Dengan melihat dari definisi di atas, dengan beberapa profesi-profesi bidang psikologi tersebut, dapat kita membayangkan betapa pentingnya peran psikologi dalam sistem hukum di negara besar seperti Amerika Serikat. Hal ini tentunya juga berpengaruh kepada negara-negara lain di dunia. Luasnya bidang kajian psikologi hukum, maka Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994; Kapardis,1995) membagi bidang kajian tersebut menjadi tiga bidang, yaitu:
-    Psychology in law, yang merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti saat psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan.
-    Psychologyand law, yang meliputi bidang psycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara, terdakwa/tersangka.
-    Psychologyof law, yaitu hubungan hukum dan psikologi yang lebih abstrak, dimana hukum berperan sebagai penentu dari perilaku. Isu yang dikaji di dalamnya antara lain adalah bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.
Psikolog forensik selalu beroperasi dalam dua golongan pemikiran yaitu keselamatan masyarakat dan kesejahteraan pasien/pelaku. Seorang Psikolog Forensik membutuhkan pengetahuan khusus di beberapa bidang seperti tipologi pelanggar, hukum pidana dan remaja, psikopati, berpura-pura sakit, seksual menyimpang, trauma dan korban, penilaian risiko dan pengobatan pelaku.

Akhir-akhir ini, hampir setiap hari di media massa baik itu koran maupun televisi selalu memberitakan beberapa kasus kekerasan dalam penanganan demonstrasi. Demonstrasi cenderung akan menciptakan bentrokan baik fisik maupun psikis yang pada akhirnya polisi yang di tuntut untuk dapat meredakan atau minimal menetralisirnya agar tidak menjadi tindakan yang merugikan masyarakat lainnya di sekitarnya. Dalam kaitan ini menyangkut  PPM (Perpolisian Pengendalian Massa/large crowd policing/ riot control policing), yang semakin tinggi frekuensinya dan mengalami kecenderungan semakin brutal perilaku pengunjuk rasa, disebabkan oleh berbagai proses dan masalah sosial ( Dr. Zakarias Poerba, SH. Msi., 2012). Sebagai contoh saya ambil dari kasus demonstrasi yang baru-baru ini terjadi di wilayah Jakarta dan sekitarnya, melalui artikel berikut ini.

Amankan Demonstrasi, Polisi Kerahkan 3.600 Personel
Laurencius Simanjuntak - detikNews
Kamis, 12/01/2012 11:38 WIB

Jakarta - Sekitar 4.500 demonstran menggelar aksinya di beberapa lokasi penting di Jakarta. Kepolisian pun mengerahkan 3.675 personel untuk mengamankan kegiatan tersebut.

"Kita sudah siapkan 3.675 petugas untuk pengamanan. Selain itu juga ada 300 petugas yang on call," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Baharudin Djafar, di kantornya, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (12/1/2012).

Baharudin mengatakan 3.675 personel itu terdiri dari 1.880 petugas Polda Metro Jaya, 1.255 orang dari polres wilayah Jakarta dan 600 anggota Brimob. Beberapa lokasi unjuk rasa yang akan didatangi demonstran adalah Istana Negara, Gedung Mahkamah Agung (MA), Kemendagri, DPR RI serta Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kita berharap pengunjuk rasa bisa menaati peraturan dan tidak menggangu kelancaran lalu lintas bagi saudara kita yang lain," harapnya.

Baharudin mengatakan jika demonstrasi menggunakan aksi menutup jalan, maka akan dibubarkan. "Kalau tidak menaati UU, polisi biasanya membubarkan kemudian orang yang bertanggung jawab dimintai keterangan," ucap dia.(nal/vta)

Dari cuplikan artikel tersebut, dari pernyataan Kabid Humas Polda Metro Jaya yang mengatakan "Kita berharap pengunjuk rasa bisa menaati peraturan dan tidak menggangu kelancaran lalu lintas bagi saudara kita yang lain," juga pernyataan yang mengatakan jika demonstrasi menggunakan aksi menutup jalan, maka akan dibubarkan dan "Kalau tidak menaati UU, polisi biasanya membubarkan kemudian orang yang bertanggung jawab dimintai keterangan”, maka hal tersebut merupakan salah satu bentuk situasi dimana polisi harus membuat keputusan dengan cepat pada situasi yang mendesak dengan memperhatikan berbagai aspek yang terkait. Sebagai sebuah institusi yang semi-otonom, polisi memiliki kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya sendiri, membentuk norma-normanya sendiri serta merumuskan tujuannya sendiri secara internal. Kepolisian sebagai institusi hukum semi otonom yaitu institusi yang disatu pihak memiliki kapasitas membuat aturan dan menegakkannya, namun disisi lain pada waktu yang bersamaan berada dalam suatu kerangka acuan sosial dan aturan umum ( Dr. Zakarias Poerba, SH. Msi., 2012). Jadi, di samping berwenang menghasilkan aturan-aturan yang bersifat internal, ia juga rentan terhadap aturan-aturan, keputusan-keputusan serta kekuatan lain yang melingkupinya. Hubungan yang saling terkait antara polisi dengan lingkungannya akan menghasilkan suatu proses interaksi. Dalam proses usaha polisi guna memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat, terdapat pula kemungkinan polisi akan berkembang secara kelembagaan.

Dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas polisi yang sering dihadapkan kepada keharusan untuk mengambil keputusan seketika di lapangan, juga berkaitan dengan perkembangan situasi yang tidak sepenuhnya dapat diprediksi, maka di perlukan dukungan ilmu psikologi bagi polisi untuk dapat mengambil keputusan dengan tepat. Sebagai contoh dalam artikel di atas, saat menangani sebuah demonstrasi, polisi yang bertugas harus dapat dengan cepat mengambil keputusan manakala situasinya sudah berubah tidak sesuai dengan yang diharapkan. Di situlah peran penting psikologi dari dalam diri seorang petugas untuk dapat membantunya menentukan keputusan yang tepat. Tujuan dari pengambilan keputusan dapat dibedakan atas dua hal, yaitu :
1.    Tujuan bersifat tunggal adalah apabila yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah saja, yang artinya sekali diputuskan dan tidak akan ada kaitannya dengan masalah lain.
2.    Tujuan bersifat ganda yaitu apabila keputusan yang dihasilkan itu menyangkut lebih dari satu masalah, artinya bahwa satu keputusan yang diambil itu akan sekaligus memecahkan dua masalah atau lebih yang bersifat kontradiktif atau bersifat tidak kontradiktif.
Melalui sudut pandang Daniel Yarmey dalam bukunya yang berjudul Understanding Police and Police Work Psycho-logical Issues, dia mencoba menggambarkan prinsip-prinsip umum dalam proses pengambilan keputusan oleh polisi yaitu berupa : “Reasoning, Memory and Judgement of Facts, Schemata and Heuristic, Biases and Common Belief, and Decision Making Situations. Dunia kerja polisi dapat dipahami dengan mengambil konsep-konsep dari dunia riset psikologi sosial dan kognitif, serta menerapkannya langsung ke masalah kepolisian. Hal ini dapat terlaksana karena penerapan konsep-konsep psikologis yang tinggi dalam prosesnya.     Namun perlu disadari juga bahwa lembaga kepolisian dan petugas jarang belajar atau menerapkan perkembangan ilmiah untuk mendukung pelaksanaan prosedur tugasnya sehari-hari mereka. Sebagai contoh dapat di lihat dalam hal penanganan demonstrasi, dimana belum semua petugas mengaplikasikan peran psikologi forensik di dalam penanganannya. Padahal bidang psikologi selalu berusaha untuk menerapkan konsep-konsep teoritis terhadap isu-isu kebijakan kepolisian. Disamping itu juga disayangkan dimana bidang psikologi masih jarang memiliki cukup pengetahuan tentang masalah-masalah dunia kepolisian yang nyata untuk memudahkan menerjemahkan temuan mereka ke dalam praktek kepolisian.
Profesor Yarmey memberikan pandangan komprehensif dari kepolisian melalui lensa proses psikologis dan hubungan bersama-sama konsep psikologi sosial dan kognitif dengan dunia nyata tuntutan dan proses kerja polisi. Yarmey menunjukkan bahwa polisi tidak selalu datang ke profesi dengan kepribadian yang berbeda dari orang lain. Sebaliknya, tuntutan unik dari karir mereka dan struktur sosial dari lembaga kepolisian mendorong perkembangan karakteristik luar yang sesuai dengan budaya kepolisian. Langkah-langkah dalam pengambilan keputusan terdiri dari :
1.    Tahap identifikasi, yaitu tahap pengenalan masalah atau kesempatan muncul dan diagnosis dibuat. Sebab tingkat diagnosis tergantung dari kompleksitas masalah yang dihadapi.
2.    Tahap pengembangan, yang merupakan aktivitas pencarian prosedur atau solusi standar yang ada atau mendesain solusi yang baru. Proses desain ini merupakan proses pencarian dan percobaan di mana pembuat keputusan hanya mempunyai ide solusi ideal yang tidak jelas.
3.    Tahap seleksi, yaitu dimana pilihan solusi dibuat, dengan cara pembentukan seleksi yakni dengan penilaian pembuat keputusan berdasarkan pengalaman atau intuisi, bukan analisis logis, dengan analisis alternatif yang logis dan sistematis, dan dengan tawar-menawar saat seleksi yang melibatkan kelompok pembuat keputusan dan semua manuver politik yang ada. Kemudian keputusan diterima secara formal dan otorisasi dilakukan.
 
Dalam penanganan sebuah demonstrasi, dimana peran polisi sangat penting dan vital, maka langkah-langkah diatas harus dilakukan untuk dapat menghasilkan keputusan yang tepat. Melalui tahap identifikasi, polisi harus mengenal masalah yang dihadapi dalam demonstrasi yang terjadi, dan mampu membuat diagnosis dari masalah tersebut. Kemudian dikembangkan dengan mencari solusi-solusi yang akan di pertimbangkan untuk di lakukan guna mengatasinya. Hingga akhirnya diakhiri dengan tahap seleksi, dimana petugas membuat pilihan dari beberapa solusi yang dimiliki dengan mempertimbangkan intuisi, dan analisa yang logis dan sistematis, hingga di dapatkan keputusan yang tepat. Tahapan tersebut akan selalu di lalui untuk dapat membuat sebuah keputusan.
Terdapat empat fungsi psikologi dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan yaitu:
1.    Sensing (Penginderaan) berkenaan dengan tendensi untuk mencari fakta, bersifat realistis, dan melihat sesuatu dalam perspektif objektif. Gaya pengambilan keputusan yang menggunakan fungsi ini menempatkan nilai yang tinggi pada fakta yang dapat diverifikasi oleh penggunaan panca indera.
2.    Intuiting (Intuisi) berkenaan dengan tendensi untuk mencoba menyingkap kemungkinan-kemungkinan baru guna mengubah cara menangani sesuatu.
3.    Thingking (Pemikiran) berkenaan dengan tendensi untuk mencari hubungan sebab akibat yang sistematik untuk dianalisa secara utuh dan membedakan dengan tegas antara yang benar dan salah. Gaya pengambilan keputusan yang menggunakan fungsi ini bertumpu pada proses kognitif.
4.    Feeling (Perasaan) berkenaan dengan tendensi untuk mempertimbangkan bagaimana perasaan diri sendiri dan orang lain sebagai akibat dari keputusan-keputusan yang dibuat. Gaya pengambilan keputusan yang menggunakan fungsi ini bertumpu pada proses afektif.
 
Dengan fungsi psikologi yang mendukung pengambilan keputusan, dari kasus demonstrasi tersebut dapat di telaah sebagai berikut. Sensing atau penginderaan dari seorang petugas merupakan pengaruh psikologi untuk mencari fakta, realita dari kegiatan demonstrasi tersebut. Faktanya adalah bahwa kegiatan Demonstrasi tersebut dilakukan oleh sekelompok besar masyarakat, dan tempat yang di tuju demonstran adalah Istana Negara, Gedung Mahkamah Agung (MA), Kemendagri, DPR RI serta Mahkamah Konstitusi (MK), dimana semuanya merupakan obyek-obyek penting yang harus dijaga dan di amankan. Kemudian intuiting dengan memperkirakan kemungkinan-kemungkinan akibat yang akan di timbulkan jika demontrasi tersebut di biarkan mendekati obyek-obyek penting tersebut. Kemudian dengan thinking/pemikiran, di carilah hubungan sebab akibat dari tindakan/solusi yang akan di ambil, yang salah satunya dapat di lihat dari pernyataan Kabid Humas Polda Metro Jaya yang menyampaikan kalau demonstran tidak menaati Undang-Undang, polisi biasanya akan  membubarkan, kemudian orang yang bertanggung jawab akan dimintai keterangan. Kemudian yang terakhir adalah feeling yang merupakan faktor dari dalam diri petugas sendiri yang berfungsi mempertimbangkan dari beberapa pemikiran yang di dapat untuk akhirnya mengambil keputusan di lapangan. Dari semua pembahasan tersebut maka terlihat jelas bahwa begitu besar dan pentingnya peran psikologi bagi seorang petugas polisi dalam mengambil keputusan saat melaksanakan tugas. Hal ini harus selalu dilakukan dan di kembangkan agar petugas polisi di lapangan dapat mengambil keputusan yang tepat ketika harus berhadapan dengan aksi-aksi demonstrasi, dan kemanan dan ketentraman masyarkat dapat tetap terjaga.

C.    PENUTUP

Dari pembahasan di atas, dapat di lihat begitu pentingnya peran psikologi dalam tugas-tugas kepolisian, terutama dalam mendukung seorang petugas polisi mengambil keputusan yang tepat dalam tugasnya. Posisi personil kepolisian dilapangan yang bersentuhan langsung ditengah-tengah masyarakat menjadikannya sangat sulit ketika harus dihadapkan dengan tugas-tugas kepolisian terutama dalam hal penegakan hukum. Untuk itu, diperlukan upaya peningkatan peran psikologi terutama psikologi kepolisian guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas kepolisian di lapangan. Selain itu, di perlukan juga pengkajian secara mendalam dan menyeluruh dengan memperhatikan aspek-aspek psikologi dalam pengambilan keputusan di bidang kepolisian.

Peran psikologi sebagai ilmu terapan khususnya dalam bidang penegakan hukum sangatlah penting. Oleh sebab itu maka perlu dilakukan penelitian dan pengembangan yang lebih serius oleh institusi penegak hukum khususnya Polri yang memilki peran yang sangat besar jika melihat tugas pokoknya sebagai pemelihara kemanan dalam negeri, penegak hukum, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

A. Daniel Yarmey, 1990, Understanding Police and Police Work : Psychological Issues, New York: New York University Press.
Poerba, Zakarias, 2012, Jurnal Studi Kepolisian “Koordinat Sosiologis Polisi dalam Alam Kemerdekaan yang Reformatif”, Jakarta, PTIK Press.
Probowati, Yusti, 2008, Indonesian Journal Of Legal and Forensic Science : Peran Psikologi Dalam Investigasi Kasus Tindak Pidana, Jakarta.
http://id.shvoong.com/business-management/management/2133712-empat-fungsi-psikologi-dalam-kaitannya/#ixzz1kMq4DHU4

Rabu, Januari 25, 2012

CBSA (CARA BELAJAR SEDIKIT ASAL)

Sebagai seorang mahasiswa, atau orang yang sedang bergelut menuntut ilmu, tentunya tidak lepas dari namanya belajar. Belajar sendiri sebenarnya tidak lah hanya saat kita menjadi siswa/mahasiswa yang sedang menuntut ilmu. Setiap detik, setiap hari, setiap saat, dan dalam situasi apapun, kita juga belajar. Namun imaje belajar memang lebih kental melekat kepada para mahasiswa yang sedang menuntut ilmu atau menjalani studi. Belajar merupakan kewajiban bagi seorang mahasiswa.

Namun kemampuan belajar tidak dapat di samaratakan pada setiap orang. Berbeda orangnya, beda juga cara dan teknik belajarnya. Ada yang harus sambil mondar-mandir, ada yang sambil jongkok di t****t, atau sambil nangkring di atas(bisa pohon, meja, atau lebih ekstrim lagi lemari), atau bahkan sambil makan biar masuk(yang masuk makanannya maksudnya). Setiap orang memiliki cara tersendiri dalam menjalani studinya. Ada yang lancar-lancar saja seperti jalan tol (meski terkadang jalan tol macet juga), dalam berbagi waktu untuk belajar, ada pula yang mengalami hambatan seperti jalan-jalan yang ada di Jakarta yang selalu di hiasi dengan kemacetan. Belajar memang memerlukan niat dan trik tertentu agar mendapatkan hasil yang di harapkan. Bagi orang yang memiliki intelejensia lebih dari rata-rata (seperti einstein), mungkin tidak lah memiliki kesulitan dalam belajar(sambil tidur tetap pinter juga), namun bagaimana dengan yang kurang memiliki semangat dalam belajar atau banyaknya hambatan yang menghalangi belajar? Permasalahannya biasanya bisa karena memang susah berkonsentrasi atau karena kurang mampu menyiasati waktu belajar di antara segudang kesibukan.
Berikut ini beberapa tips yang mungkin dapat diterapkan/ diaplikasikan untuk membantu kita menyiasati problem belajar yang di hadapi:
1.    Pilih tempat yang tenang (seperti kamar, pojokan gudang, atau bahkan di kuburan/kalau berani, hehehe..) agar Anda dapat belajar dengan rileks.
2.    Pilih satu waktu khusus untuk belajar setiap hari. Bisa malam hari sebelum tidur(sampai bukunya di bawa tidur/buat bantal alias ketiduran), atau pagi hari saat bangun tidur(yang jelas bangunnya jangan kesiangan). Kemudian waktu belajar tersebut jangan berubah-ubah!
3.     Jauhi kebisingan dan gangguan yang membuat kamu sulit untuk belajar, (misalnya jangan belajar sambil nonton konser Ayu Ting-Ting, apalagi belajarnya di sebelah speakernya(ga banget deh...hehehe...)
4.    Mintalah bantuan/dukungan kepada keluarga dan teman saat kamu sedang belajar, (misalnya dengan sungkem dulu mohon doa restu ibu sama bapak kamu, atau minta teman/keluarga untuk dukung melalui sms dengan ketik Reg(spasi)belajar, kirim ke 3XX9, hehehe...(hahaha, ga gitu juga kali...)
5.    Belajarlah untuk berkata “Tidak” pada hal-hal yang kiranya mengganggu, seperti telepon, teman, pekerjaan rumah, atau televisi (kecuali penting misalnya telepon dari gebetan, atau ada siaran pertandingan bola Liga Inggris, hihihi, just kidding, ga boleh begitu ya...)
6.    Pasang benda yang bertuliskan “DO NOT DISTURB” atau “AWAS, KESENGGOL, SIKAT”, atau bisa juga “PLISS DEH, MOHON TENANG, SEDANG ADA YANG BELAJAR”, pada gagang/depan pintu kamar, ketika Anda sedang belajar, hal ini untuk memberitahukan orang-orang yang berada di luar kamar kamu, supaya mereka tahu jika kamu sedang belajar.(hahaha, sewajarnya aja kali...)
7.    Luangkan waktu yang cukup untuk Anda beristirahat (tapi jangan bablas terus ya, kalau bablas terus kapan belajarnya...)
8.    Blok waktu Anda selama 50menit untuk belajar (kalau bisa lebih, jangan malah kurang, OK?)
9.    Kelola waktu pada siang hari Anda untuk belajar sedapat mungkin(memang agak susah sih, tapi bisa di coba kok...yang penting niatnya)
10.    Bebaskan pikiran Anda dari semua ingatan yang kiranya bisa mengganggu belajar Anda(tapi jangan di lupakan semuanya, terutama nama kamu sendiri, nama bapak/ibu kamu, nama istri/pacar/gebetan kamu, apalagi alamat rumah kamu....hihihi)
11.    Berikan waktu luang sejenak untuk beristirahat (jangan bablas juga....hehehe...)

Namun jika saran tersebut ternyata masih belum bisa mempermudah kamu dalam belajar, maka cobalah untuk memikirkan strategi lain. Misalnya, belajar kelompok bersama teman-teman (atau mencari jaringan per-joki-an, hahaha, becanda bro... yang pasti niatkan dulu untuk belajar, dan tumbuhkan semangat dalam diri). Setelah itu, cobalah pilih mana yang lebih memudahkan kamu untuk berkonsentrasi dalam belajar, sendiri atau berkelompok.
Tetap semangat, Sukses ya !

(di rangkum dari berbagai referensi)

SEDIKIT SARAN UNTUK YANG MENGANTUK DI KELAS

Sedikit cerita tentang realita seorang mahasiswa. Dunia pendidikan merupakan dunia yang penuh dengan kejutan dan hal-hal yang inovatif. Salah satunya adalah budaya ngantuk waktu kuliah. Banyak hal-hal baru yang dapat di lihat di situ. Kebayang dong gimana rasanya lagi kuliah di dalam kelas tetapi rasa kantuk melanda. Pastinya rasanya itu macem-macem kan, ada yang malah seneng dengan  cuek langsung tidur, ada juga yang berusaha sekuat tenaga kuda untuk menahan serangan jurus roh ayam itu. Khusus bagi yang masih punya malu, tentunya hal itu tidak enak sekali. Pengennya kuliah segera berakhir biar kita bisa segera mencari posisi tidur yang nyaman agar nafsu kantuk itu terlampiaskan. Tetapi waktu kan tetap berjalan pada ritmenya, tidak bisa kita percepat se enak kita. Perasaan pengen segera pergi dari kelas juga ga mungkin terlampiaskan karena ada absen yang harus di tanda tangani dari pada nanti urusannya tambah panjang di bagian Mindik.

Awalnya pasti adalah upaya-upaya untuk bertahan dengan mendengarkan dosen yang sedang menerangkan materi kuliah sambil nulis-nulis di buku catatan atau laptop. Tapi jika serangan virus kantuk terlalu kuat, maka ngantuk pun tetap terjangkit dalam diri kita. Memang ada dosen yang peduli dan ada juga dosen yang tidak mau tahu. Dosen yang peduli biasanya melalui cara menegur, melempar penghapus, sampai marah-marah trus keluar dari kelas meninggalkan mahasiswa yang terdiam terpaku. Sedangkan dosen yang tidak mau tahu, yah biasanya menggunakan jurus PPTL (Pura-pura tidak lihat), atau karena memang ga enak sama mahasiswanya karena kemarin baru di kirimin oleh-oleh, hehehe. Betul, betul, betul?
Ada yang bilang penyebab utama dari katerjangkitan kantuk ini adalah karena kebiasaan begadang. Tapi sepertinya hal itu bener juga, hal itu di kuatkan dengan materi kuliah dari Bang Haji Roma Irama yang salah satu teorinya mengatakan “Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya, begadang boleh saja kalau ada perlunya...”. Dari teori dari bang Oma itu jelas mengingatkan kita bahwa jika memang tidak perlu banget, mending jangan begadang deh, ya bisa di bilang kalau manfaatnya kurang. Begadang membuat waktu istirahat kita berkurang, dan hal ini juga menjadi salah satu indikasi kita belajar korupsi, yaitu korupsi waktu istirahat. Memang begadang tidak semuanya jelek. Misalnya saja kalau begadangnya untuk ikut ronda siskamling malam di kampung kita ya itu lumayan bermanfaat. Tapi kalau begadangnya di tempat yang lampunya gemerlap, atau kadang juga remang-remang sambil megang gelas yang berisi minuman “penghilang penat”, di tambah di sebelahnya ada yang bisa di elus-elus, itu lain lagi. kalau yang seperti itu kayaknya manfaatnya kurang deh, selain waktu, duit, dan tenaga terbuang sia-sia, tabungan dosa juga bertambah, (hehehe....pendapat pribadi saya sih, bisa beda kok). Tapi apapun itu, yang jelas kegiatan begadang memang bisa menjadi penyebab kita mengantuk pada pagi harinya. Hal itu sudah terbukti dengan kejadian musibah “tugu Tani” dengan pemeran utama Afriyani  “Xeniawati”, Wkwkwkwkwk…ga nyambung ya?

Jadi sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, saran saya buat yang suka begadang mending kebiasaan itu ditinggalkan saja, daripada nantinya menjadi boomerang buat kita sendiri...

Ngomongin soal serbuan virus ngantuk di kelas, mungkin jika di terima oleh para khalayak ramai, saya ada sedikit saran. Mungkin bisa menjadi referensi bagi temen-temen yang maniak dengan tidur di kelas, Hahaha…
Beberapa saran untuk melawan serangan virus ngantuk di kelas waktu kuliah, yaitu:
•    Coba minum kopi sebelum kuliah, karena kabarnya si kopi itu mengandung kafein yang berguna untuk memacu kerja jantung yang sehingga akan memompakan aliran darah ke seluruh tubuh dan otak, cuma ya jangan kebanyakan juga, ntar malah jadi ga baik.(kata ortu saya)
•    Makan permen, (permen beneran loh ya, jangan yang boongan, hihihi...). kalau perlu makan permen yang pedes, misalnya permen jahe, permen mint, atau bahkan permen cabe. Bagus lagi kalau cabe aslinya yang di emut sambil di kunyah. Saya yakin mata anda akan mengeluarkan air  yang di kenal dengan nama air mata, dan membuat anda segar kembali. Hehehe....
•    Cubit-cubit tangan kamu atau pipi kamu, dan kalau masih belum berefek juga, minta tolong temen di sebelah kamu untuk melakukannya. Kalau masih belum berefek juga, bisa di coba minta teman yang berada di sebelah kamu untuk memukul kamu. Karena dengan rasa sakit yang kita rasakan, akan membuat kita tidak mengantuk..., tapi efek setelah itu saya ga ikut-ikut ya, hihihi... :)
•    Lakukan suatu hal yang bisa membuat kamu tersenyum atau bahkan tertawa, misalnya dengan membayangkan dosennya mirip Sule atau mpok Nori, (maaf cm contoh aja, ga beneran juga, hehehe), tetapi jika dosennya killer alias ga bersahabat, mending jangan coba-coba deh, dari pada nilainya bermasalah, Waspadalah!
•    Buka laptop atau HP kamu, trus main game tanpa suara. Atau nonton film yang action, tapi film beneran ya, jangan yang “aneh-aneh”, hehehe...(tapi yang satu ini ga saya saranin banget, cuma pengalaman pribadi aja, jadi jangan di tiru, hihihi...)
•    Yang agak resmi ya kamu permisi sama dosen untuk ijin cuci muka di toilet, trus lanjut ngabur ke kantin, hahaha. Pas keluar dari kelas di jamin deh kamu ga ngantuk, tapi setelah masuk kelas ya ngatuk lagi, hehehe, tapi minimal udah ada usaha, betul..?

Demikian lah beberapa saran dari saya, silahkan di coba kalau kamu tertarik. Hanya saja efek samping dan akibat darinya saya ga ikut-ikut ya... Kemudian jika cara itu belum berhasil juga, mungkin tidak bisa dipungkiri jika itu memang karena kebiasaan kita yang salah. Intinya adalah kualitas tidur akan berpengaruh pada kemampuan kita menahan serangan roh ayam itu. Buat saya, memang hanya dengan tidur, yang paling manjur untuk mengatasi ngantuk. Bebrapa cara di atas hanyalah saran bagi para agan-agan semua, bukan perintah, hihihi....

Mengantuk bukanlah kejahatan, namun efek dari mengantuk itulah yang terkadang dapat menjadi sebuah tindakan negatif dan merugikan kita maupun orang-orang di sekitar kita, atau juga berakibat tidak sesuai etika. Sebaiknya berhentilah dari bagadang, karena akibat banyak begadang muka pucat karena darah berkurang.

Maka mari perbaiki kulitas tidur kita…
(dari berbagai sumber referensi)

BENARKAH RAMALAN ITU?

Kita mungkin pernah mendengar ramalan seorang pujangga Jawa yang lebih di kenal dengan nama Joyoboyo, bunyinya begini “……. jamane jaman edan, sing ora edan ora bakal keduman. Nanging sak bejo-bejone wong edan, isih luwih bejo wong kang eling lan waspodo ……” jika di artikan dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya sebagai berikut : …….. saatnya jaman gila-gilaan. Orang yang tidak ikut gila-gilaan tidak akan mendapatkan bagian. Namun seberuntung apapun orang yang gila, masih lebih beruntung orang  yang sadar dan waspada ……..

Jika kita renungkan bersama, maka dari waktu ke waktu situasinya memang mengarah kepada ramalan itu. Beberapa puluhan tahun yang lalu, kegilaan jaman itu sudah terlihat. Berbagai perubahan budaya yang mengarah kepada hal-hal yang gila sudah banyak terjadi. Semakin lama skala kegilaan jaman semakin besar dari masa ke masa. Harapan masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik rasa-rasanya tidak pernah bertambah baik, tapi malahan kondisi yang ada ternyata semakin jauh lebih buruk. Jika kita menyimak berita-berita yang ada di televisi, membaca berita-berita ter-update di koran dan majalah, maka indikasinya sangatlah jelas. Fakir miskin dan anak-anak terlantar masih berkeliaran tidak dipelihara dengan seharusnya(belum ada pelaksanaan UUD 1945). Hukum lebih banyak berkutat pada ranah wong cilik, meskipun ranah wong gedhe pun sebenarnya juga ada, hanya mungkin pengaruh hukum tidak begitu kentara. Banyak pelaku kejahatan yang malah menikmati fasilitas kemewahan di penjara, sedangkan yang miskin semakin tertekan.Uang hasil korupsi banyak yang tidak kembali, sehingga entah dimana keberadaannya. Kehidupan bebas semakin terlihat dengan maraknya budaya pergaulan yang semakin bebas dan ekonomi yang berkembang menjadi pasar bebas. Semua dibiarkan bersaing bebas untuk tetap hidup, harga-harga komoditi selalu cenderung naik, berlomba-lomba untuk semakin meraup untung. Hal-hal tersebut masih tetap akan berlanjut jika dari pemerintah tidak melakukan perbaikan yang serius dan cermat.

Sekarang tinggal mana yang menjadi pilihan kita, mau termasuk salah satu orang yang mana? Apakah mau ikut menjadi orang yang sangat gila, menjadi yang berkontribusi kepada kegilaan, ataukah menjadi orang yang sekedar membiarkan semuanya terjadi tanpa kepedulian, atau di sisi lain kita dapat menjadi orang yang sadar dan orang yang mengingatkan dengan aktif semuanya agar kehidupan menjadi lebih baik lagi? 
Sedikit renungan dari guru saya, hidup itu berawal di huruf B dan berakhir di huruf D (Birth/hidup and Death/mati), dan di antaranya ada huruf C (Choice/pilihan). Hidup selalu menawarkan pilihan, dan semua pilihan ada konsekuensinya. 
Semuanya ada dalam pilihan bebas kita, maka pilihlah dengan tepat.

(terinspirasi dari tulisan di Kompasiana http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/25/ramalan-joyoboyo-itu-terwujud-beberapa-tahun-terakhir/)

Rabu, Januari 11, 2012

POLISI, MASYARAKAT, DAN KECELAKAAN LALU LINTAS


Seperti yang di atur dalam pasal 13 Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di sebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :
1.      Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
2.      Menegakkan hukum, dan
3.      Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Dari uraian tugas diatas, pada hakekatnya tugas pokok Polri adalah berupaya untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara sektoral tugas kewajiban pelayanan Polri kepada masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam beberapa struktur fungsi  kepolisian yang diantaranya yaitu Intelkam, Reserse Kriminal(Reskrim), Samapta Bhayangkara(Sabhara), Lalu Lintas(Lantas), Pembinaan Masyarakat(Binmas). Sesuai dengan pasal 7 ayat 2 Undang-undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, di katakan bahwa Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi: (e) urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Mendasari hal tersebut, Satuan Lalu lintas adalah Penyelenggaraan tugas pokok POLRI bidang Lalu Lintas dan merupakan penjabaran kemampuan teknis professional khas Kepolisian, yang meliputi :
1.      Registrasi/Identifikasi Pengemudi dan Kendaraan ( Driver and Vehicle Identification ) yaitu dimna POLRI bertanggung jawab dalam proses registrasi dan identifikasi semua kendaraan bermotor yang beroperasi di seluruh indonesia, termasuk pengemudinya. Beberapa hal sudah di aplikasikan oleh Satuan Lalu lintas untuk menciptakan ketertiban dalam registrasi dan identifikasi ini.
2.      Penegakan Hukum Lalu-lintas (Police traffic Law Enforcement), meliputi upaya preventif dan represif. Upaya preventif dilakukan dengan kegiatan pengaturan Lalu-lintas(Traffic Direction), penjagaan/Pengawasan Lalu-lintas(Traffic Observation), pengawalan Lalu-lintas(Traffic Escort), dan patroli Lalu-lintas(Traffic Patrol). Sedangkan upaya represif di lakukan dengan kegiatan Penyidikan Kecelakaan Lalu-lintas(Traffic Accident Investigation), dan Penindakan terhadap Pelanggaran Lantas (Traffic Law Violation). Selain itu juga menerapkan berbagai kegiatan Operasi Kepolisian sesuai program dari satuan atas, dalam hal ini Polda dan Mabes Polri.
3.      Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas ( Police Traffic Engineering ), meliputi serangkaian kegiatan pengamatan, penelitian dan penyelidikan terhadap faktor penyebab gangguan / hambatan keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas serta memberikan saran-saran berupa langkah-langkah perbaikan dan penangulangan serta pengembangannya kepada instansi-instansi yang berhubungan dengan permasalahan lalu lintas. Hal tersebut di lakukan dengan selalu berkoordinasi dengan Instansi samping yang terkait dalam penanganan lalu lintas, seperti Dishub, Jasa Marga, dan DPU. Selain itu juga, Kesiapan seluruh komponen stake holder bidang lalu lintas dalam mempersiapkan diri baik sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta hal lainnya juga di perlukan dalam menghadapi situasi kecelakaan yang mungkin terjadi. Pemberdayaan kemajuan informasi dan teknologi sangat bermanfaat sebagai pemantau lalu lintas jalan raya disamping keberadaan petugas dilapangan, dalam mewujudkan respon yang cepat dan ketanggap daruratan dalam menangani Kecelakaan Lalu lintas. Hal ini juga memerlukan adanya konsignes yang jelas dan dalam pelaksanaannya harus ada kerjasama yang baik dan terpadu dari seluruh stake holder, sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang telah ditetapkan bersama.
4.      Pendidikan Masyarakat tentang Lalu-lintas ( Police Traffic Education ), yaitu Pendidikan dan Pembinaan kepada masyarakat dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran hukum berlalu lintas guna menciptakan keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu-lintas. Kegiatan-kegiatan ini diarahkan terhadap masyarakat yang terorganisir, yaitu siswa sekolah melalui kegiatan PKS ( Patroli Keamanan Sekolah ) dan  Pramuka Saka Bhayangkara, pembinaan Banpol(Bantuan Polisi), juga kepada masyarakat yang tidak terorganisir seperti masyarakat pemakai jalan(pengemudi kendaraan dan pejalan kaki). Semua kegiatan Dikmas tersebut bertujuan untuk menciptakan Traffic Mindness kepada masyarakat tersebut.

Dalam upaya menekan terjadinya kecelakaan lalu-lintas, bukanlah hal yang mudah bagi POLRI dan bagi Satuan Lalu Lintas pada khususnya. Kendala yang dialami oleh Satlantas pada umumnya dalam menekan angka kecelakaan lalu-lintas adalah pada unsur masyarakat sebagai objek sekaligus subjek utama dari pengguna jalan. Demikian juga yang terjadi di wilayah Cilacap, yang masyarakatnya cenderung bertemperamen keras (masyarakat pesisir), serta heterogen karena banyak pendatang (pegawai BUMN: Pertamina, PLTU, dan proyek Semen Holcim). Masyarakat cenderung berupaya untuk yang penting mereka cepat sampai tujuan. Dengan kultur budaya masyarakat kita sekarang ini, dapat dikatakan sebaik apapun seorang petugas Polisi Lalu-lintas dalam melakukan pengaturan dan penjagaan lalu lintas di jalan raya, atau selengkap dan se-modern apapun rambu-rambu yang di pasang dan sarana prasarana yang di miliki, bahkan sehebat apapun peraturan berlalu-lintas yang dibuat, apabila tidak ada kesadaran hukum dari masyarakat itu sendiri sebagai pengguna jalan dan subjek dalam berlalu lintas, maka semuanya hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia atau tidak ada gunanya. Namun sebaliknya, seperti yang dapat kita lihat di masyarakat yang sudah memiliki kesadaran hukum yang tinggi, meskipun tanpa kehadiran Polisi Lalu-lintas, ataupun dengan minimnya rambu-rambu dan aturan perundang-undangan yang mengatur tentang lalu lintas, apabila dari diri masyarakat sendiri sebagai pelaku lalu-lintas telah memiliki kesadaran yang tinggi dalam mematuhi aturan yang ada, maka keamanan dan ketertiban serta kelancaran lalu-lintas sudah tentu akan dapat terwujud dengan sendirinya. Jika kita perhatikan, kecelakaan lalu lintas sering di akibatkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1.      Faktor manusia
Interaksi yang terjadi saat berlalu lintas sangat bergantung dari perilaku Manusia sebagai pengguna jalan dan hal tersebut menjadi hal yang paling dominan dalam berlalu lintas. Beberapa indikator yang dapat membentuk sikap dan perilakunya di Jalan raya antara lain :
a.      Mental dan perilaku
Mental dan perilaku pengguna jalan merupakan suatu cerminan budaya masyarakat dalam berlalu lintas. Dengan memiliki etika, sopan-santun, toleransi antar pengguna jalan, dan kematangan dalam pengendalian emosi, serta dengan adanya kepedulian dari para pengguna jalan di jalan raya, tentunya akan dapat menciptakan sebuah interaksi berlalu lintas yang baik sehingga masyarakat selaku pengguna jalan dapat terhindar dari kecelakaan lalu-lintas.
b.      Pengetahuan
Perbedaan tingkat pengetahuan / pemahaman terhadap aturan yang berlaku berpotensi memunculkan permasalahan dalam berlalu lintas, baik antar pengguna jalan itu sendiri maupun antara pengguna jalan dengan aparat yang bertugas di jalan raya. Kurangnya pemahaman tentang peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat menimbulkan pelanggaran lalu lintas yang berakibat terjadinya kecelakaan lalu lintas.
c.       Kemampuan dan Keterampilan
Kemampuan dan keterampilan dalam mengendalikan kendaraan merupakan suatu keharusan yang mutlak dimiliki oleh pengendara kendaraan demi terciptanya keamanan, ketertiban, kelancaraan, dan keselamatan lalu lintas, baik bagi pengendara kendaraan tersebut maupun pengguna jalan lainnya, sehingga akan berpengaruh juga terhadap situasi lalu lintas.
2.      Faktor Kendaraan
Menurut Undang Undang No 22 tahun 2009, Kendaraan merupakan salah satu faktor utama yang secara langsung terlibat dalam dinamika lalu lintas jalan raya dengan dikendalikan oleh manusia, interaksi antara manusia dan kendaraan dalam satu kesatuan gerak di jalan raya memerlukan penanganan khusus baik terhadap mental, pengetahuan dan keterampilan pengemudi maupun kesiapan (laik jalan) kendaraan tersebut untuk dioperasionalkan di jalan raya. Kendaraan sendiri di pengaruhi oleh :
a.      Kuantitas Kendaraan
Tingginya tingkat angka pertambahan kendaraan bermotor apabila ditinjau dari sektor keamanan dan keselamatan transportasi lalu lintas jalan raya menimbulkan dampak permasalahan yang cukup serius, semakin sempit ruang gerak di jalan, semakin tinggi ancaman terjadinya kecelakaan lalu lintas.
b.      Kualitas Kendaraan             
Kendaraan bermotor sebagai hasil produksi suatu pabrik, telah dirancang dengan suatu nilai faktor keamanan untuk menjamin keselamatan bagi pengendaranya. Namun karena perkembangan budaya, banyak masyarakat melakukan modifikasi yang mempengaruhi standard kelengkapan keamanan yang ada pada setiap kendaraan bermotor. Selain perubahan secara fisik/modifikasi kendaraan, perawatan dan usia pakai kendaraan sering kali menjadi permasalahan yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
3.      Faktor Jalan
Menurut Undang Undang No 22 tahun 2009, Jalan merupakan komponen utama transportasi yang tentunya tidak dapat dipisahkan komponen trnasportasi lainnya sebagai penghubung wilayah baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional. Jalan yang rusak dan berlubang sering menjadi faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas.


Usaha dalam rangka mewujudkan keselamatan jalan raya merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab terhadap penanganan jalan raya baik, pengadaan dan pemeliharaan infrastruktur, sarana dan prasarana jalan, maupun pengaturan dan penegakan hukumnya (sesuai Undang-undang No 22 tahun 2009). Hal ini bertujuan agar situasi Kamtibcarsel Lantas di jalan raya dapat tetap terjaga dan terpelihara dengan baik dan mencapai sasaran yang diharapkan. Namun partisipasi aktif dari masyarakat sebagai pemakai jalan juga dibutuhkan dengan menampilkan etika, sopan santun dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Polres Cilacap dengan satuan lalu lintasnya juga turut andil dalam mengemban tanggung jawab pemerintah dalam menciptakan keamanan, ketertiban, kelancaran dan keselamatan masyarakat dalam berlalu lintas, khususnya di wilayah Cilacap. Mewujudkan keamanan, ketertiban, kelancaran dan keselamatan berlalu lintas juga dipengaruhi oleh faktor individu setiap pemakai jalan. Kecerdasan Intelektual individu atau kemampuan memotivasi diri guna menumbuhkan kesadaran dalam dirinya untuk beretika dalam berlalu lintas dengan benar sangat dibutuhkan untuk mewujudkan hal tersebut. Menumbuhkan motivasi dalam diri bisa dipengaruhi oleh factor Internal (kesadaran diri seseorang) maupun eksternal (lingkungan sekitarnya). Selain itu juga, desakan semangat untuk menciptakan situasi lalu lintas yang aman dan nyaman harus dimiliki oleh semua stake holder yang berada pada struktur pemerintahan maupun non pemerintah yang berkompeten dalam bidang lalu lintas. Sehingga secara bersama-sama memiliki motivasi dan harapan yang sama dengan mengaplikasikannya didalam aksi nyata pada kehidupan berlalu lintas di jalan raya. Koordinasi selalu dilakukan oleh POLRI dengan Pemerintah daerah setempat untuk ikut berperan aktif dalam upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat. Hal ini terutama berhubungan dengan program pendidikan kelalu lintasan bagi masyarakat. Selain itu, program inovasi dari Pemda dan Kepolisian, seperti kegiatan car free day, pendataan dan penyuluhan kepada penjual helm dan aksesoris kendaraan, dan  sebagainya, juga diharapkan dapat menumbuh kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas yang baik. 
Sebagai wujud kepedulian POLRI terhadap kemanusiaan dan keselamatan di jalan raya, POLRI mempunyai Program Safety Riding dengan 9 skala prioritas sbb :

1.   Menggunakan sabuk pengaman dan helm standar bagi pengendara sepeda motor dan yang membonceng.
2.   Menggunakan kaca spion lengkap.
3.   Lampu kendaraan bermotor lengkap dan berfungsi baik.
4.   Sepeda motor menyalakan lampu di siang hari.
5.   Patuhi batas kecepatan (dalam kota 50 km/jam, luar kota 80 km/jam, daerah pemukiman / keramaian 25 km/jam dan jalan bebas hambatan 100 km/jam).
6.   Kurangi kecepatan pada saat mendekati persimpangan.
7.   Sepeda motor, kendaraan berat dan kendaraan lambat menggunakan lajur kiri.
8.   Patuhi dan disiplin terhadap ketentuan dan tata-cara berlalu-lintas saat :
a.   Memasuki jalan utama
b.   Mendahului
c.   Membelok/memutar arah
d.   Penggunaan lampu sign
9.   Patuhi rambu-rambu, marka jalan dan peraturan lalu-lintas.
Program-program tersebut tentunya disusun tidak asal-asalan tetapi berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang di miliki POLRI mengenai hal-hal yang berpotensi menyebabkan kecelakaan. Prioritas tersebut disusun sebagai upaya untuk menciptakan keselamatan kita semua dalam berkendara di jalan raya. Satuan Lalu Lintas Polres Cilacap turut berperan aktif dalam menciptakan inovasi-inovasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas sehingga di harapkan tingkat kecelakaan lalu lintas yang di akibatnya karena kecerobohan atau keteledoran pengemudi/pengguna jalan dapat semakin di tekan.
Berdasarkan pembahasan di atas, diperoleh kesimpulan bahwa tingkat kecelakaan lalu lintas di Indonesia masih tinggi. Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu faktor penyebab tingginya tingkat kematian di negeri kita. Kecelakaan lalu lintas sebenarnya dapat dihindari dengan ketertiban dalam berlalu lintas di jalan. Ketertiban dan keselamatan berlalu lintas di jalan raya merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah. Untuk itu di butuhkan dukungan dari masyarakat sebagai pengguna jalan, yaitu dengan kesadaran pribadi dari masyarakat akan pentingnya beretika yang baik saat berlalu lintas. Dengan budaya berlalu lintas yang baik, maka kejadian kecelakaan lalu lintas akan dapat di hindari dan di tekan. Berbagai upaya yang telah di lakukan Satuan lalu lintas Polres Cilacap pada hakekatnya hanya merupakan upaya yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam mematuhi peraturan yang berlaku sehingga dapat tercipta situasi lalu lintas yang aman dan nyaman sehingga tingkat kejadian kecelakaan lalu lintas dapat semakin berkurang. Hal ini jika di sadari tentunya akan sangat bermanfaat bagi masyarakat sendiri bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan upaya yang telah di lakukan oleh POLRI secara berkesinambungan, juga memerlukan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas. Permasalahan lalu lintas kedepan terutama kecelakaan lalu lintas akan tetap meningkat jika kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya etika tertib berlalu lintas belum juga dapat terwujud maksimal. Semakin meningkatnya, baik faktor manusia, jalan, kendaraan maupun lingkungannya harus disikapi secara bersama antara stake holder yang bertanggung jawab serta berwenang dalam bidang lalu lintas maupun peran serta aktif dari masyarakat pengguna jalan guna tetap terpeliharanya situasi keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dalam upaya menurunkan tingkat kecelakaan lalu lintas di Indonesia.
Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas yang tertib dan beretika merupakan faktor penyebab tingginya angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Bukan hanya POLRI sendiri yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya namun merupakan permasalahan bagi kita bersama. Tantangan permasalahan ini kedepan dan hal lain dalam kelalu-lintasan dapat kita atasi bersama dengan memberikan dedikasi, kinerja dan semangat yang tinggi serta peran serta aktif dari semua lapisan masyarakat dan pemerintahan untuk mampu menunjukan kepada dunia internasional bahwa Indonesia merupakan negara yang berbudaya dan memiliki potensi sumber daya manusia yang handal dan profesional.

EFEKTIFITAS PENERAPAN PERKAP NO 1 TAHUN 2009 TENTANG PENGGUNAAN KEKUATAN DALAM TINDAKAN KEPOLISIAN


A.      PENDAHULUAN
Di dalam Undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, tepatnya pada pasal 1 ayat 2 dikatakan bahwa, “Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran”. Dari pengertian demonstrasi menurut Undang-undang tersebut, demonstrasi juga berarti unjuk rasa. Demonstrasi adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak. Akhir-akhir ini terjadi trend dimana unjuk rasa/demonstrasi terkadang berujung pada pengrusakan terhadap benda-benda/kerusuhan. Kerusuhan terjadi ketika sekelompok orang berkumpul bersama untuk melakukan tindak kekerasan, biasanya sebagai tindak balas terhadap perlakuan yang dianggap tidak adil ataupun sebagai upaya penentangan terhadap sesuatu. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Rusuh di definisikan tidak aman karena banyak gangguan keamanan, kacau, ribut, gaduh, huru hara tidak sopan, sangat kasar, tidak beraturan, tidak menurut aturan. Kerusuhan hampir sama dengan tindakan anarki. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anarki diartikan dalam dua arti yaitu hal tidak adanya pemerintahan undang undang, peraturan atau ketertiban dan atau kekacauan dalam suatu Negara.
Polisi sebagai aparat yang utamanya bertanggung jawab di bidang keamanan dan ketertiban dalam pelaksanaan tugasnya akan selalu dihadapkan pada situasi dan kondisi yang berubah-ubah sejalan dengan dinamika masyarakat itu sendiri. Ketika terjadi bentrokan antara massa dan petugas POLRI dalam berbagai kejadian unjuk rasa ataupun peristiwa "chaos" lainnya, seringkali POLRI dianggap tidak dapat menunjukkan prinsip-prinsip Good Governance. Bahkan dalam pemberitaan di media televisi atau surat kabar, yang sering jadi topik hangat adalah POLRI selalu di salahkan sebagai pelaku pelanggaran HAM. Padahal massa sendiri sudah sangat brutal dan tindakannya dapat mengancam keselamatan masyarakat sekitarnya dan jiwa petugas POLRI sendiri. Sebaliknya, ketika petugas yang menjadi korban, sering kali luput dari perhatian media maupun masyarakat, dan malahan sering terabaikan.
Bagi korban di pihak massa sudah pasti berlaku perlindungan Hak Asasi Manusia, namun bagaimana dengan Polisinya, apakah HAM juga berlaku bagi Polisi saat menjalankan tugas, yang hakekatnya ia bertindak atas nama hukum dan negara.

B.       PEMBAHASAN
Guna mengantisipasi tindakan yang di lakukan POLRI saat mengatasi kerusuhan massa, dan untuk dapat mewujudkan Good Governance di dalam institusi POLRI, maka di susunlah suatu aturan untuk melindungi petugas ketika ia tengah melaksanakan pekerjaannya. Saat terjadi tindakan anarkhis dalam suatu unjuk rasa atau kegiatan lainnya, dalam rangka menegakkan hukum dan menciptakan keamanan dan ketertiban, maka POLRI terkadang harus menggunakan suatu tindakan yang dinamakan Tindakan Kepolisian. Agar tindakan ini terukur, mempunyai standar dan dapat dipertanggungjawabkan, maka selanjutnya POLRI mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Ada prosedur dalam penanganan suatu tindakan kerusuhan massa. Apabila tindakan kekerasan terjadi namun sesuai dengan Perkap ini dan dapat di pertanggung jawabkan, maka personil tersebut akan mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum.
Yang dimaksud dengan tindakan kepolisian dalam perkap ini adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa raga, harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat. Dan yang di maksud dengan penggunaan kekuatan adalah segala penggunaan/pengerahan daya, potensi atau kemampuan anggota Polri dalam rangka melaksanakan tindakan kepolisian. Yang dimaksud dengan Mempertahankan diri dan/atau masyarakat adalah tindakan yang diambil oleh anggota Polri untuk melindungi diri sendiri atau masyarakat, atau harta benda atau kehormatan kesusilaan dari bahaya yang mengancam secara langsung.
Tugas dan wewenang anggota POLRI berdasarkan  Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian adalah:
A.    Enam Prinsip Penggunaan Kekuatan, yaitu:
1.      Legalitas (harus sesuai hukum)
2.      Nessesitas ( penggunaan kekuatan memang perlu diambil)
3.      Proporsionalitas (dilaksanakan seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tindakan POLRI)
4.      Kewajiban Umum (Petugas bertindak dengan penilaiaannya sendiri berdasarkan situasi & kondisi yang bertujuan menciptakan kamtibmas)
5.      Preventif (mengutamakan pencegahan)
6.      Masuk akal (tindakan diambil dengan alasan yang logis berdasarkan ancaman yang dihadapi)
B.     Enam Tahapan Penggunaan Kekuatan:
1.      Kekuatan yang memiliki dampak deteren (berupa kehadiran aparat POLRI atau kendaran dengan atribut POLRI atau lencana)
2.      Perintah lisan (ada komunikasi atau perintah, contoh : "POLISI, jangan bergerak!")
3.      Kendali tangan kosong lunak (dengan gerakan membimbing atau kuncian tangan yang kecil timbulkan cedera fisik)
4.      Kendali tangan kosong keras (ada kemungkinan timbulkan cedera, contoh dengan bantingan atau tendangan yang melumpuhkan)
5.      Kendali senjata tumpul (Sesuai dengan perlawanan tersangka, berpotensi luka ringan, contoh dengan menggunakan gas air mata dan tongkat polisi)
6.      Kendali dengan menggunakan senjata api (tindakan terakhir dengan pertimbangan membahayakan korban, masayarakat dan petugas)

Kebijakan ini tentunya menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat sebagai target group, dan akan muncul pengaruh dan tekanan dari faktor lingkungan di sekitarnya. Masyarakat ada yang menganggap Protap ini sebagai upaya POLRI membenarkan setiap tindak kekerasan yang di lakukan. Namun ada juga yang setuju karena merasa kasihan dimana POLRI selalu tersudut saat harus mengamankan tindak demonstrasi yang sudah anarkhi. Kalangan mahasiswa atau yang sering berdemo menganggap hal tersebut sebagai trik POLRI untuk bertindak sewenang-wenang saat mengamankan demonstrasi, dan masih banyak lagi pro dan kontra lainnya. Bahkan di lingkup institusi POLRI sendiri masih terjadi keraguan anggota dimana saat nantinya bertugas dan melakukan  tindakan sesuai dengan protap tersebut tetap di salahkan karena di kalahkan dengan opini publik. Namun dengan di buatnya kebijakan ini, sudah merupakan langkah maju dari pimpinan POLRI untuk menjaga kredibilitas POLRI sebagai aparat penegak hukum dan wujud penerapan prinsip-prinsip Good Governance. Dengan kebijakan ini, maka tindakan POLRI yang dilakukan dalam mengatasi tindak anarkhisme massa dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini sangat baik, karena HAM adalah milik semua manusia termasuk POLRI, dan tidak hanya milik massa yang berdemo dan akhirnya melakukan tindak anarkhi dengan dalih mengatasnamakan rakyat yang kecewa. Prosedur yang diterapkan sudah memenuhi unsur-unsur eskalasi dari yang paling ringan sampai dengan yang paling berat. Penggunaan senjata api pun merupakan opsi terakhir digunakan bilamana keselamatan korban, petugas dan masyarakat lain sudah terancam. Hal lain yang menarik dalam Perkap ini adalah dalam pasal 13 ayat 2 dinyatakan bahwa petugas POLRI di lapangan saat menerima perintah dari atasannya namun tidak melaksanakannya karena si petugas beranggapan bahwa tindakan sang atasan bertentangan dengan peraturan, maka dalam kondisi demikian, dibenarkan untuk tidak mengikutinya. Hal ini tentunya merupakan keseimbangan dalam peran dan fungsi di dalam organisasi POLRI sendiri dimana sistem yang berlaku bukan lagi sistem militeristik. Kebijakan dari Kapolri ini merupakan wujud POLRI dalam mengimplementasikan peran dan tanggung jawab dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Selain itu wujud implementasi POLRI dalam mewujudkan Good Governance di dalam institusi POLRI juga dapat di lihat melalui penerapannya.
Jadi menurut saya, kebijakan POLRI mengeluarkan Perkap ini merupakan hal yang positif,  dan sudah sangat baik karena segala sesuatu tindakan POLRI di lapangan saat menangani kerusuhan massa dapat di pertanggungjawabkan sesuai dengan HAM dan perundang-undangan dan merupakan aplikasi dari wujud Good Governance.

C.      PENUTUP
POLRI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. POLRI juga selalu diharapkan dapat menerapkan prinsip-prinsip Good Governance di dalam institusinya. Dengan Pelaksanaan Perkap No 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian yang dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum dan tetap menghormati/menjunjung tinggi HAM merupakan salah satu wujud implementasi POLRI menerapkan Good Governance.. Bagi anggota POLRI sendiri, jaminan dan payung hukum pelaksanaan tugas di lapangan dalam melakukan tindakan kepolisian menjadi jelas dan sudah sesuai dengan standar dan peraturan yang ada dapat dipertanggungjawabkan. Namun perlu untuk dapat di tetapkan sebagai undang-undang agar payung hukum tersebut dapat lebih meyakinkan dan menjamin profesionalitas tugas POLRI di lapangan.

Selasa, Januari 10, 2012

PENERAPAN PROGRAM PERPOLISIAN MASYARAKAT (POLMAS) MELALUI KONSEP “SATU POLISI UNTUK SATU DESA/KELURAHAN”



I.           PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Permasalahan.
Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang bersifat majemuk dan heterogen, yaitu terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang tersebar mulai dari Sabang hingga ke Merauke. Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas lebih dari dua kelompok masyarakat yang memiliki karakteristik masing-masing, didorong oleh latar belakang historis yang hampir serupa, kondisi geografis dan pengaruh dari kebudayaan asing. Kondisi geografis dari negara Indonesia yang terdiri dari kepulauan menyebabkan terisolasinya para penduduk dalam pulau-pulau yang tersebar tersebut, sehingga memunculkan beranekaragam suku bangsa yang sesuai dengan adaptasi mereka terhadap lingkungannya masing-masing. Keanekaragaman suku bangsa tersebut yang akhirnya menumbuhkan perbedaan terhadap budaya, adat-istiadat, kultur, bahasa, perilaku dan juga pola pikir dari masyarakat Indonesia. Perbedaan yang terbentuk tersebut juga dipengaruhi oleh perbedaan tempat tinggal, yaitu dimana masyarakat yang tinggal di pesisir pantai, akan mempunyai pola pemikiran dan kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat yang tinggal di pegunungan ataupun lembah.
Masyarakat dapat kita bedakan dalam dua kelompok, yaitu masyarakat pedesaan atau tradisional dengan masyarakat modern atau perkotaan. Masyarakat pedesaan/tradisional lebih kita kenal dimana kehidupannya masih banyak yang mengandalkan dari alam, keterikatan dengan norma adat setempat masih terasa, jiwa kebersamaan atau kekeluargaannya serta rasa solidaritasnya masih sangat tinggi, juga cenderung bersifat homogen. Sedangkan untuk masyarakat perkotaan/modern dapat kita lihat dimana masyarakatnya lebih cenderung hidupnya sudah tidak tergantung lagi kepada alam, interaksi dengan lingkungan yang semakin minim sehingga cenderung menimbulkan terbatasnya jiwa kekeluargaan dan solidaritas, dan rata-rata berpendidikan. Dari kedua kelompok tersebut, bila dikaitkan dengan konteks pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang di emban oleh Polri, maka dapat di simpulkan bahwa untuk dapat mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat di perkotaan cenderung akan lebih membutuhkan usaha yang ekstra di bandingkan masyarakat pedesaan. Kurangnya intensitas interaksi antar anggota masyarakat di perkotaan yang dikarenakan kesibukan dari setiap anggota masyarakatnya, sehingga jarang ada waktu bagi mereka untuk mengobrol bersama-sama tetangganya merupakan salah satu factor penyebabnya. Tingginya tingkat individualisme dan apatisme pada masyarakat perkotaan, lebih di pengaruhi oleh situasi dimana masyarakat perkotaan, terutama di kota besar, sudah terbiasa berangkat ke kantor atau beraktivitas di mulai dari pagi-pagi, dan kemudian pulang pada malam hari, langsung melaksanakan istirahat malam untuk persiapan beraktivitas kembali esok hari. Berbeda lagi dengan masyarakat di pedesaan, dimana meskipun rasa kekeluargaan dan solidaritas antar masyarakatnya masih terjalin kuat, namun sikap yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya terkadang harus berbenturan dengan kemajuan teknologi dan budaya baru yang mungkin bermanfaat bagi mereka. Merupakan tantangan tersendiri bagi anggota Polri yang dilapangan untuk dapat melakukan penangkalan, pencegahan dan penanganan suatu permasalahan dengan menyesuaiakan karakteristik dari masyarakatnya. Minimnya anggota masyarakat yang mempunyai hubungan dengan anggota Polri, juga dapat menjadi kendala bagi Polri dalam upaya menciptakan masyarakat yang aman dan tertib. Hal tersebut tentunya dapat menciptakan kerawanan daerah yaitu meningkatnya kejahatan karena kelengahan dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya. 
Polri sebagai pengemban fungsi kepolisian di Indonesia, harus dapat melihat fenomena ini guna meningkatkan kinerjanya sebagai pelindung, pengayom ,dan pelayan masyarakat. Anggota polri di harapkan mampu mengatasi kendala-kendala permasalahan dalam masyarakat tersebut, untuk mendukung upaya Polri menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Menurut Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat. Selain menjalankan tugas pokoknya tersebut, Polri juga mempunyai tugas untuk membina masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan (UU No. 2 Tahun 2002 pasal 14 ayat (1) huruf b ). Melalui fungsi pembinaan masyarakat (Binmas), Polri berupaya menumbuhkan kesadaran dari masyarakat untuk turut serta dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban di masyarakat itu sendiri. Dalam perkembangannya, Polri mencoba mengaplikasikan suatu program yang di adopsi dari system kepolisian Negara maju (Jepang dan Amerika Serikat) yaitu Community Policing, yang dianggap dapat membantu upaya Polri dalam pembinaan masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang lebih baik. Maka muncullah konsep program Perpolisian Masyarakat (Polmas), yang di kuatkan dengan dasar Skep Kapolri No. Pol. : Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan strategi penerapan model Polmas dalam penyelenggaraan Tugas Polri. Polmas (Perpolisian Masyarakat) adalah sebuah metode perpolisian yang dikembangkan di banyak negara di seluruh dunia dan juga merupakan salah satu model perpolisian terpenting di Asia. Untuk itulah maka Indonesia pun turut mengadopsinya. Polmas mendorong terciptanya suatu kerjasama baru antara Polri dengan masyarakat dalam menghadapi suatu permasalahan yang terjadi, dan bersama-sama berupaya menemukan upaya penyelesaiannnya.
B.    Permasalahan.
Permasalahan yang di coba di tampilkan dalam makalah ini adalah sudah berjalankah konsep tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas Polri, dan apa ide kreatif yang dapat di aplikasikan untuk dapat mendukung penerapan program Polmas tersebut.

II.         PEMBAHASAN
A.    Masyarakat yang tahan terhadap kejahatan merupakan modal awal bagi terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat.
Perkembangan ekonomi dan teknologi dalam masyarakat sekarang ini sedikit banyak berpengaruh terhadap berkembangnya kejahatan yang mencakup jenis-jenis maupun dimensinya dari yang dulu tidak ada, dan sekarang menjadi ada(kejahatan kontemporer). Sedikit mengutip dari Dosen Mata Kuliah Perkembangan Kejahatan, Jenderal Polisi (Purn) Chaerudin Ismail yang mengatakan “Crime is the Shadow Of Civilization”, dimana kejahatan merupakan bayang-bayang dari peradaban. Semakin berkembangnya sebuah masyarakat, semakin berkembang juga kejahatan yang terjadi di sekitarnya baik metode, teknik maupun cara-cara yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan. Semakin beratnya tuntutan ekonomi yang melanda masyarakat golongan menengah kebawah, ditambah dengan sulitnya mencari pekerjaan bagi mereka yang masih pengangguran, merupakan salah satu factor yang mendorong terjadinya kejahatan. Jangankan untuk mencari pekerjaan, bagi mereka yang sudah bekerja pun dihadapkan pada sulitnya untuk mempertahankan pekerjaannnya, mengingat masih banyak dan seringnya perusahaan yang mem-PHK karyawannya karena alasan finansial. Karena tuntutan ekonomi yang semakin berat, dan sulitnya lapangan pekerjaan itulah, maka melakukan tindak kejahatan menjadi suatu pilihan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Faktor ekonomi yang merupakan factor mendasar dalam masyarakat, memang kerap kali menjadi salah satu pendorong terjadinya tindak kejahatan dalam masyarakat. Dalam hal ini, maka di perlukan masyarakat yang tahan terhadap tindak kejahatan, sehingga masyarakat pun tetap dapat berpartisipasi untuk menjaga stabilitas kamtibmas. Masyarakat yang tahan terhadap tindak kejahatan adalah masyarakat yang mampu untuk turut mencegah agar tindak kejahatan tidak berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Dengan mengerti tentang arti pentingnya sebuag keamanan bagi masyarakat, maka akan tumbuh kesadaran dari masyarakat untuk ikut menjaga keamanan di lingkungannya. Masyarakat akan mampu untuk melakukan upaya-upaya pencegahan guna membantu dalam menciptakan situasi kamtibmas terutama bagi lingkungannya sendiri. Bentuk ketahanan masyarakat akan kejahatan juga dapat di lihat dari masyarakat yang mampu turut berperan dalam mengindentifikasi masalah kamtibmas yang ada di wilayah komunitasnya dan bersama-sama mencari solusi mengatasi permasalahan tersebut bersama Polri. Sehingga dapat terbentuk masyarakat yang bersama Polri, mampu membangun kekuatan dalam menghadapi permasalahan yang sesulit apa pun yang terjadi di lingkungannya, yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang berkembang dalam wilayahnya masing-masing.
B.    Kemitraan dan partisipasi masyarakat melalui kerjasama antara Polri dengan masyarakat
Polri adalah sebuah organisasi besar yang termasuk lembaga negara yang bertanggungjawab kepada Presiden RI, yang mempunyai tugas pokok untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya itu, Polri akan dihadapkan pada banyak permasalahan dalam masyarakat yang harus dapat di “manage” agar keamanan dan ketertiban tetap terjaga dengan baik. Ketika Polri gagal melakukan upaya deteksi dini, dan upaya penangkalan terhadap masalah yang akan akan muncul, maka kejahatan akan semakin berkembang. Namun perkembangan yang terjadi pada bidang kejahatan tersebut juga harus diimbangi dengan kemampuan Polri untuk dapat menangani setiap masalah yang terjadi, baik secara pre-emtif, preventif maupun kuratif melalui penangkalan, pencegahan dan penanganan suatu masalah. Banyak metode yang selalu digunakan Polri untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang berkembang dalam masyarakat, namun Polri lebih sering secara tidak langsung menggunakan metode-metode konvensional sebelumnya, yang terkesan militeristik. Dengan perkembangan kondisi social dalam masyarakat saat ini, Polri mulai meninggalkan paradigma lama yang cenderung militeristik tersebut. Salah satu metode yang telah dikembangkan untuk penangkalan, pencegahan maupun penanganan kejahatan adalah metode Polmas.
Konsepsi dari Polmas sendiri sebenarnya berangkat dari beberapa kesamaan anggapan, bahwa masyarakat dengan segala potensi, sumber daya dan kekuatan yang di milikinya dapat ikut berkontribusi untuk membantu tugas-tugas kepolisian. Dalam mewujudkannya tentunya diperlukan jalinan hubungan yang harmonis antara polisi dan masyarakat yang bersifat kemitraan yang sederajat, intim, dan saling membutuhkan satu sama lain. Polisi memberikan bimbingan dan menfasilitasi masyarakat agar dapat terwujud kontribusi yang baik, serta terjalin hubungan kemitraan yang sederajat dalam situasi yang saling bersinergi dan saling melengkapi antara Polisi dan masyarakat. Konsep Polmas (Perpolisian Masyarakat) adalah sebuah metode perpolisian yang mengadopsi beberapa metode kepolisian yang dikembangkan di banyak negara di seluruh dunia dan juga merupakan salah satu model perpolisian terpenting di Asia. Polmas mendorong terciptanya suatu kerjasama baru antara Polri dengan masyarakat dalam menghadapi suatu permasalahan. Melalui Polmas, maka akan tercipta suatu kemitraan antara polri dengan masyarakat dalam menangani setiap permasalahan sosial, yang pada akhirnya dapat mengurangi kejahatan, memberikan perasaan aman dari kejahatan dan selanjutnya akan terciptan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Salah satu hal yang dapat di lakukan oleh Polri adalah dengan melakukan pendekatan secara langsung terhadap masyarakat. Bentuk pendekatan ini merupakan suatu strategi pendekatan masyarakat dengan cara menyambangi/mengunjungi masyarakat secara langsung, dengan periode tertentu secara kontinyu. Kegiatan tersebut di lakukan untuk bertatap muka serta berbincang-bincang dengan anggota masyarakat yang di kunjungi tersebut. Hal ini di lakukan dengan harapan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat dan problematika yang terjadi di dalamnya, atau untuk dapat memberikan arahan, informasi, atau pembinaan kepada masyarakat untuk lebih meningkatkan kepedulian terhadap keamanan dan ketertiban. Sasarannya yang terutama adalah para tokoh atau pemimpin suatu komunitas, maupun orang-orang yang dianggap memiliki pengaruh terhadap suatu komunitas ataupun wilayah tertentu dalam masyarakat. Namun selain itu, anggota masyarakat dari level terbawah pun juga dapat menjadi sasaran dari kegiatan Polmas melalui dirrect approach ini. Hal ini di maksudkan agar diperolah informasi dari segala lapisan masyarakat, dan akhirnya Polri akan mendapatkan informasi yang lebih akurat sebagai bahan untuk mengambil tindakan dalam memelihara keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Selain itu, keuntungan lainnya yang akan didapat oleh Polri dari masyarakat adalah dimana masyarakat yang senantiasa disambangi oleh anggota Polri merasa bahwa anggota Polri itu adalah bagian dari mereka, sehingga terjalin kedekatan kekeluargaan di dalamnya. Masyarakat juga tidak akan ragu dan takut untuk berkeluh kesah, ataupun melaporkan mengenai segala hal karena mereka sudah menganggap anggota Polri tersebut adalah bagian dari mereka yang akan selalu siap untuk membantu mereka.
Jika hal itu sudah dapat dilakukan oleh setiap anggota Polri, maka kegiatan Program Polmas yang mendasari setiap kebijakan yang di ambil oleh Polri akan berpengaruh terhadap menurunnya angka kriminalitas dan juga mempercepat informasi tentang segala sesuatu yang terjadi di suatu wilayah. Bila hal ini terjadi maka tujuan pembentukan daripada Polmas telah tercapai yaitu kemitraan antara Polri dengan masyarakat.
C.    Perwujudan Kesetaraan antara Polisi dan Masyarakat.
Konsep didalam Program Polmas pada hakekatnya adalah bagaimana masyarakat dan polisi dapat menyelesaikan dan memecahkan permasalahan Kamtibmas yang ada atau terjadi di wilayahnya. Sehingga untuk dapat menjalankan dan melaksanakan hal tersebut, maka personil Polri dan masyarakat perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan yang cukup tentang tugas yang akan dijalankannya. Sebagai suatu paradigma baru dalam upaya penanganan kejahatan, Program Polmas harus disosialisasikan kepada seluruh anggota Polri dan juga kepada seluruh anggota masyarakat. Untuk menyeragamkan persepsi itu, maka dikeluarkanlah kebijakan Kapolri melalui Surat Keputusan Kapolri No. Pol.:Skep / 737 / X / 2005 tanggal 13 Oktober 2005, yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan Kapolri No. 7 / 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Polmas dalam Penyelenggaran tugas Polri. Dengan dikeluarkannya Perkap tersebut, maka Program Polmas secara resmi dijadikan kebijakan yang harus diterapkan oleh setiap anggota Polri di seluruh wilayah Indonesia. Jika di resapi, Program Polmas sebenarnya berangkat dari pemahaman, bahwa dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan dalam masyarakat, maka solusinya adalah dengan melibatkan masyarakat secara bersama-sama, sehingga akan dihasilkan penyelesaian yang lebih universal. Selain itu juga dapat di gunakan untuk melakukan deteksi dini terhadap setiap persoalan yang terjadi di dalam masyarakat, sehingga penanggulangan masalah yang di lakukan semakin maksimal, dan akan terwujud keamanan dan ketertiban masyarakat yang selalu diidam-idamkan oleh seluruh masyarakat. Melalui pengaplikasian Program Polmas yang menitikberatkan kepada pemecahan permasalahan yang dilaksanakan secara proaktif bersama-sama antara Polri dengan masyarakat, maka akan tercipta suatu kesetaraan dan kemitraan antara Polri dengan masyarakat.
D.    Upaya-upaya alternatif dan kreatif dalam Penyelesaian Masalah (Problem Solving) guna mencegah konflik dan terpenuhinya rasa keadilan.
Pengemban fungsi Polmas pada hakekatnya adalah setiap anggota Polri, siapapun dia, dimana pun dia berada, kapanpun dan saat apapun. Namun dalam pelaksanaan birokrasi organisasi dalam Polri, pengaplikasian Program Polmas di koordinasikan oleh Fungsi Binmas. Selama ini sudah beralan dengan adanya para petugas Bhabinkamtibmas. Meski tidak ada ketentuan pangkat di dalamnya, namun pada umumnya yang berjalan sekarang ini, para petugas Bhabinkamtibmas lebih di dominasi oleh anggota Bintara Polri. Dalam pelaksanaan tugasnya, para petugas Bhabinkamtibmas tersebut berada di bawah kendali Kapolsek. Polsek merupakan organisasi Polri yang terdepan pada tingkat kecamatan yang tentunya sangat bersentuhan dengan segala dinamika masyarakat yang berkembang di wilayah kecamatan tersebut. Oleh karena itu, petugas Bhabinkamtibmas berada di bawah kendali organisasi Polsek, namun Satuan Binmas Polres tetap bertanggung jawab dalam hal pembinaan fungsi dan kinerja. Menurut saya program tersebut sudah baik dan dapat menyentuh warga masyarakat. Namun yang masih menjadi kendala untuk saat ini adalah di mana jumlah petugasnya yang terbatas, kemampuan dan keahlian mereka sebagai Bhabinkamtibmas belum sepenuhnya maksimal, dan system kerja dan birokrasinya yang masih belum tertib. Sementara ini, seperti yang dapat saya lihat di Polsek saya bertugas dulu, satu orang petugas Bhabinkamtibmas harus membawahi minimal dua atau tiga desa. Menurut saya hal tersebut tidaklah efektif, karena beban kerja mereka harus terbagi dengan luasnya wilayah tugas mereka. Persoalan dan masukan dari masyarakat tidak dapat sepenuhnya tertampung dengan maksimal. Selain itu, kemampuan sebagai petugas Bhabinkamtibmas belumlah maksimal karena belum semua petugas sudah meresapi dan menghayati peran dan tugasnya sebagai seorang Bhabinkamtibmas. Menanggapi keadaan tersebut, hemat saya seorang Bhabinkamtibmas akan lebih efektif jika satu orang membawahi maksimal satu desa/kelurahan. Dengan membawahi hanya satu desa, di harapkan seorang petugas Bhabinkamtibmas dapat maksimal mengakomodir segala keluhan, masukan, dan persoalan di dalam masyarakat tersebut. Peran dan kerjanya dapat lebih focus untuk benar-benar mengaplikasikan diri sebagai seorang Bhabinkamtibmas. Selain itu, seorang petugas Bhabinkamtibmas sebaiknya adalah putra dari daerah tersebut, atau bertempat tinggal di daerah tersebut. Karena dengan begitu, dia akan lebih mengenal karakteristik kerawanan yang ada di wilayah tersebut, serta dapat lebih maksimal melayani masyarakat karena berdomisili di daerah tersebut. Selain itu juga akan menumbuhkan kedekatan antar petugas Bhabinkamtibmas tersebut dengan warga di sekitarnya, sehingga masyarakat akan lebih terbuka dan aktif membantu Polri. Tempat tinggalnya yang berada di wilayah tugasnya, dapat difungsikan juga sebagai kantor polisi sementara dan terbuka bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan Polri. Maksudnya adalah, dijadikan tempat awal dimana warga dapat mencari informasi tentang kepolisian, ataupun melaporkan segala sesuatu tentang persoalan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Peran petugas Bhabinkamtibmas adalah sebagai pelayan bagi masyarakat yang ada di wilayah tugasnya untuk dapat memperoleh pelayanan kepolisian sementara sebelum selanjutnya di teruskan ke Polsek atau Polres. System tersebut dirasakan akan lebih efektif karena warga tidak harus jauh-jauh ke Polsek atau Polres, jika hanya menanyakan suatu informasi misalnya masalah prosedur pembuatan SIM, STNK, dan BPKB, atau masalah pengurusan SKCK, atau informasi lain tentang prosedur dalam birokrasi Polri. Demikian juga persoalan-persoalan ringan ataupun berat, dapat segera di ketahui oleh Polri dan dapat segera di ambil tindakan penanganannya sesuai prosedur. Untuk masalah ringan seperti perselisihan anak-anak atau kesalahpahaman antar tetangga yang masih dapat di selesaikan secara kekeluargaan oleh masyarakat tersebut, tentunya tidak perlu harus jauh-jauh di bawa ke Polsek atau Polres. Namun perkara-perkara yang penting dan melibatkan pidana berat atau meresahkan warga seperti misalnya tindak pidana penganiayaan, pencurian, atau bahkan pembunuhan, dan sebagainya dapat segera di ketahui oleh petugas Bhabinkamtibmas, untuk selanjutnya segera di laporkan kepada pimpinan untuk proses penanganan selanjutnya. Hal tersebut di rasakan lebih efektif, karena informasi dari warga dapat cepat di ketahui oleh Polri, dan masyarakatpun merasa terlayani. Dengan system satu Polisi untuk satu desa/kelurahan, pengaplikasian program Polmas akan lebih maksimal. Namun meskipun demikian, kemampuan dan ketrampilan petugas Bhabinkamtibmas tersebut tetap harus menjadi pertimbangan utama. Mereka harus di bekali dengan segala ketrampilan sebagai seorang petugas Bhabinkamtibmas, dan di seleksi dengan memperhatikan sisi psikologisnya, agar di dapatkan profil seorang petugas Bhabinkamtibmas yang bertanggungjawab terhadap tugasnya, dan dapat di pertanggungjawabkan hasil kerjanya. Pemberian dukungan kesejahteraan dalam melaksanakan tugas juga tetap harus di perhatikan, karena seorang petugas Bhabinkamtibmas tidak mungkin dapat bekerja sendiri tanpa dukungan financial dari dinas. System birokrasi sekarang ini yang berupa pelaporan-pelaporan tetap efektif  di laksanakan, namun dengan beberapa inovasi yang memudahkan petugas sendiri, namun tetap dapat di pertanggungjawabkan secara prosedur. Misalnya blangko-blangko pelaporan yang di sesuaikan dengan system kerja yang efektif, dan system pelaporan sendiri yang tidak terlalu panjang, sehingga petugas tidak di sibukan dengan pelaporan saja, namun dapat lebih maksimal dalam bekerja melayani masyarakat.

E.    Perwujudan pemberdayaan Perwira dalam mengemban fungsi sebagai Bhayangkara Pembina Kamtibmas pada wilayah penugasan yang sesuai dengan kondisi struktur sosial dan ekonomi masyarakatnya.
Dari konsep Polmas di atas yaitu satu Polisi untuk satu desa, tetap di butuhkan peran perwira sebagai supervisor. Dengan konsep dimana petugas Bhabinkamtibmas menetap atau bertempat tinggal di desa/kelurahan yang merupakan wilayah tugasnya, di perlukan system pengawasan untuk menghindari penyalahgunaan wewewang dan tindakan lain yang tidak sesuai dengan tujuan dari konsep Polmas. Perlu adanya seorang perwira Polri yang mengemban tugas sebagai koordinator bagi para petugas Bhabinkamtibmas di satu wilayah Polsek tersebut. Perwira ini bertanggungjawab sebagai pengawas dan pembina teknis bagi para petugas Bhabinkamtibmas di wilayah Polseknya. Sebaiknya jangan Kapolsek yang memegang jabatan tersebut, namun di siapkan satu orang perwira dalam jabatan tersebut, agar pelaksanaan tugasnya lebih focus dan maksimal. Kapolsek tetap berperan memegang kendali koordinasi birokrasi Polsek dengan menerima laporan dari hasil pelaksanaan tugas para Bhabinkamtibmas yang sudah di kompulir oleh Perwira Koordinator Bhabinkamtibmas tersebut. Jadi secara singkat, para petugas Bhabinkamtibmas bertanggungjawab kepada perwira Koordinator tersebut, dan Perwira Koordinator Bhabinkamtibmas tersebut bertanggung jawab kepada Kapolsek. Perwira Koordinator Bhabinkamtibmas harus aktif untuk keliling mengecek dan mengawasi kinerja dari para petugas Bhabinkamtibmas yang berada di setiap desa/kelurahan. Jadi supervisornya yang harus lebih aktif melaksanakan perannya, bukan petugas Bhabinkamtibmasnya. Dari gambaran konsep di atas maka dapat di simpulkan, bahwa dalam pengaplikasian program Polmas dengan mengedepankan Polsek sebagai ujung tombaknya, para petugas Bhabinkamtibmas harus berdomisili di desa/kelurahan yang menjadi wilayah tugasnya. Mereka harus dapat bekerja sama atau melekat dengan perangkat desa atau kepala desa/lurah setempat, sehingga peran Polri melayani masyarakat benar-benar di aplikasikan. Kemudian terdapat seorang perwira sebagai coordinator dari para petugas Bhabinkamtibmas tersebut, yang berada di bawah kendali Kapolsek, dan tugasnya sebagai pengawas dan Pembina teknis para petugas Bhabinkamtibmas di wilayah Polsek tersebut. Perwira Koordinator tersebut juga harus dapat bekerjasama dengan para perangkat kecamatan/sekretaris kecamatan, agar pelayanan kepada masyarakat dapat lebih maksimal karena melibatkan segala unsure pemerintahan. Kapolsek tetap sebagai pemegang kendali birokrasi, dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas dari perwira coordinator Bhabinkamtibmas dan para petugas Bhabinkamtibmas di wilayah Polseknya. Kapolsek harus dapat bekerjasama dengan pejabat Camat setempat, agar tugas pelayanan kepada masyarakat dapat lebih maksimal karena semua unsure pemerintah turut andil menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut. Tidak lupa juga, Kapolsek, perwira Koordinator Bhabinkamtibmas, serta para petugas Bhabinkamtibmas, harus mengenal para tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun tokoh adat setempat, dan mampu berkoordinasi dengan mereka dalam upaya memelihara kemanan dan metertiban di wilayah Polsek tersebut. Satuan Fungsi Binmas di Polres tetap berperan sebagai Pembina Fungsi pembinaan yang dilakukan para petugas Bhabinkamtibmas, dengan mengkompulir hasil pelaksanaan tugas yang di laksanakan para petugas Bhabinkamtibmas, dan mengadakan pelatihan-pelatihan yang di perlukan guna meningkatkan kemampuan dan ketrampilan para Bhabinkamtibmas di lapangan. Selain Kapolsek, Satuan Binmas Polres juga berkewajiban melaporkannya ke Kapolres dan satuan yang lebih atas tentang hasil pelaksaan tugas para Bhabinkamtibmas. Secara periodic, Kapolsek di damping oleh Perwira Koordinator Bhabinkamtibmas mengumpulkan para petugas Bhabinkamtibmas untuk melaksanakan anev dari hasil-hasil yang sudah di dapat dan di laksanakan dalam hal pembinaan keamanan dan ketertiban di wilayah Polsek tersebut.

III.       PENUTUP

Demikian konsep pengaplikasian Program Polmas yang dapat saya uraikan. Kemudian dari konsep “satu polisi untuk satu desa/kelurahan” tersebut, dapat di ambil kesimpulan yaitu bahwa Polmas dapat dijadikan sebagai suatu bentuk upaya Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Polsek merupakan organisasi Polri yang terdepan pada tingkat kecamatan yang tentunya sangat bersentuhan dengan segala dinamika masyarakat yang berkembang di wilayah kecamatan tersebut. Ujung tombaknya adalah para petugas Bhabinkamtibmas yang berada di bawah kendali Kapolsek sebagai pejabat yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban di setiap wilayah Kecamatan. Dalam pelaksanaan tugasnya, para petugas Bhabinkamtibmas  secara penuh melekat atau berdomisili di setiap desa/kelurahan yang menjadi daerah tugasnya. Hal tersebut berfungsi agar petugas dapat lebih fokus karena setiap saat bersama warga masyarakat, dan masyarakatpun dapat dengan segera mendapatkan pelayanan Kepolisian meski hanya sementara sebelum di putuskan tindakan penanganannya yang sesuai prosedur dan membawa keadilan bagi semua masyarakat. Upaya Polri untuk membangun kerjasama dengan masyarakat dengan aplikasi Polmas merupakan salah satu metode yang di rasakan efektif dalam menangkal, mencegah dan menangani problem masyarakat termasuk kejahatan. Sehingga di harapkan dalam masyarakat terwujud perasaan di lindungi, di ayomi, dan di layani oleh Polri serta tercipta rasa keadilan di dalam masyarakat.