Dalam sepanjang sejarah arti dari polisi mempunyai tafsiran yang berbeda¬beda, polisi yang sekarang dengan yang awal di temukan istilah sangat berbeda. Pertama kali polisi di temukan dari perkataan yunani "politea" yang berarti seluruh pemerintah negara kota. Di negara Belanda pada jaman dahulu istilah polisi di kenal melalui konsep Catur Praja dan Van VollenHonen yang membagi pemerintahan menjadi 4 (empat ) bagian, yaitu:
1. Bestur
2. Politic
3. Rechtspraak
4. Regeling
CHARLES REITH dalam bukunya The Blind Eye of History mengemukakan pengertian Polisi dalam bahasa Inggris: "Police Indonesia The English Language Came to Mean of planning for improving ordering communal exsistence", yaitu sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan susunan kehidupan masyarakat. Di dalam Encyclopaedia and social Science di kemukakan bahwa pengertian Polisi meliputi bidang fungsi, tugas yang luas, yang di gunakan untuk menjelaskan berbagai aspek pada pengawasan keseharian umum. Kemudian dalam arti yang sangat khusus di pakai dalam hubunganya dengan penindasan pelanggaran-pelanggaran politik, yang selanjutnya meliputi semua bentuk pengertian dan ketertiban umum. Dengan demikian Polisi di berikan pengertian dan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta harta bendanya dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Dalam kamus bahasa Indonesia W.J.S. POERWODARMITA di kemukakan bahwa istilah Polisi mengandung pengertian:
1. Badan pemerintah (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara ke amanan dan ketertiban umum.
2. Pegawai negeri yang bertugas menjaga ke amanan dan ketertiban umum.
Dalam pengertian ini istilah polisi mengandung 2 (dua) pengertian makna yaitu polisi sebagai tugas dan sebagai organnya.
Dalam beberapa tahun belakangan ini kondisi perekonomian Indonesia memasuki masa-masa sulit, khususnya pasca krisis global. Dampak negatif dari krisis tersebut tidak saja menyebabkan angka kemiskinan semakin meningkat bersamaan dengan banyaknya perusahaan yang berhenti beroperasi, namun yang lebih memperihatinkan adalah meningkatnya angka kejahatan, mulai dari kejahatan konvensional (street crime) hingga kejahatan yang berkarakteristik internasional (transnational crime).
Perkembangan kejahatan tersebut tampaknya semakin diberi peluang dengan hadirnya era globalisasi, yang ditandai dengan peningkatan penggunaan teknologi komunikasi dan informasi pada seluruh aktivitas kehidupan manusia. Tidak berlebihan apabila Polri telah jauh-jauh hari memprediksi fenomena tersebut sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Polri 2005-2009 yang menyatakan: Globalisasi tidak lagi mengenal hambatan mobilitas antar negara, telah mendorong peningkatan kejahatan transnasional, mulai dari pencucian uang, narkoba, perdagangan ilegal manusia, sumber alam dan senjata, terorisme dan cyber crimes.
Sekalipun karakteristik kejahatan di era globalisasi semakin variatif, dan cenderung semakin canggih, tidak berarti kejahatan konvensional (street crime) secara otomatis berhenti, faktanya hampir disetiap wilayah, baik di perdesaan maupun perkotaan, kasus kejahatan konvensional tidak pernah mengenal kata berhenti, sebut saja kasus pembunuhan, pencurian dengan kekerasan, premanisme, dan sebagainya. Selain itu juga masih banyak di temui bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang bersifat situasional dalam masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 pasal 13 menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyrakat
2. Menegakkan hukum
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Sebagai penegak hukum dan keadilan, adakalanya polisi harus menggunakan pemaksaan dan melakukan tindakan kekerasan. Oleh karena itulah penegak hukum juga diberikan berbagai kekuasaan yang dapat digunakan guna tercapainya penegakan hukum yang sah. Diantara kekuasaan dan wewenang yang seringkali digunakan secara umum adalah kekuasaan penangkapan dan penahanan dan wewenang menggunakan kekerasan jika memang sangat diperlukan untuk pencapaian tujuan penegakan hukum. Kewenangan/kekuasaan profesi ini sering disebut dengan diskresi atau discretion, namun pada pelaksanaannya sangatlah jauh panggang dari pada api.
Penerapan diskresi kepolisian dalam penegakan hukum pidana, sejatinya tidak hanya dipengaruhi faktor jenis pelanggaran yang dilakukan, tetapi juga melihat dari perkembangannya yang semakin meluas. Tindakan diskresi juga dipengaruhi oleh berat ringannya kejahatan, penyebab terjadinya kejahatan, jumlah kerugian yang diderita korban, atau kehendak dari korban sendiri karena korban merasa apa yang dituntutnya telah dipenuhi oleh pelaku misalnya pelaku telah membayar ganti kerugian atau kompensasi atau pelaku telah menyampaikan permintaan maaf, apabila kasusnya adalah pencemaran nama baik.
Dalam kondisi lingkungan peradilan di Indonesia yang masih sarat dengan permasalahan, seperti lambatnya proses penyelesaian perkara, banyaknya manipulasi selama proses peradilan serta biaya berperkara yang relatif mahal, banyak pihak menghendaki agar penyelesaian perkara dilakukan secara cepat tanpa melibatkan lembaga peradilan (out of court). Harapannya, kedua belah pihak yang berperkara akan sama-sama berposisi sebagai pemenang (win-win solution). Umumnya, cara-cara ini banyak diterapkan dalam sengketa ekonomi (bisnis) sehingga kemudian muncul istilah Alternative Dispute Resolution (ADR), seperti mediasi, negosiasi, dan rekonsiliasi, sedangkan untuk penanganan kasus pidana, penyelesaian secara out of court yang diwujudkan dengan cara tidak dilanjutkannya proses penyidikan ke tahap penuntutan, masih jarang dilakukan, sekalipun undang-undang telah memberikan peluang dipergunakannya kewenangan ini
Oleh karena itu, dengan memperhatikan pada munculnya kehendak dari para pihak yang berperkara untuk memperoleh penyelesaian perkara (pidana) secara sederhana dan cepat serta guna mengurangi terjadinya penumpukan perkara, tidak terkecuali memberikan rasa keadilan kepada kedua belah pihak, maka dalam tulisan ini saya akan memberikan uraian singkat tentang penggunaan wewenang diskresi kepolisian dalam penegakan hukum pidana. Harapannya, melalui tulisan ini aparat kepolisian tidak lagi menganggap tabu penggunaan wewenang diskresi dalam penegakan hukum pidana, sebaliknya justru semakin banyak menggunakannya guna memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan.
Diskresi kepolisian merupakan kebijakan yang berdasarkan kekuasaan yang di miliki kepolisian untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dirinya sendiri(polisi). Dalam hal ini, diskresi kepolisian harus tunduk pada ketentuan hukum tetapi pada satu waktu diskresi dapat mengesampingkan ketentuan hukum. Pasca TAP MPR No.VI tahun 2000, Polri terpisah dari TNI sehingga mengharuskan Polri mewujudkan kepastian dan kesadaran hukum. Untuk mewujudkan Polisi yang profesional, maka setiap anggota Polri harus menjunjung tinggi tugas pokok Polri sebagaimana diamanatkan UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri yaitu penegakan hokum, pemeliharaan keamanan, ketertiban dalam masyarakat dan tugas perlindungan, pengayoman serta pelayanan terhadap masyarakat. Polisi harus dapat menjaga dan meneruskan Reformasi Polri berupa Reformasi Instrumental yakni pembenahan regulasi mengenai kepolisian dan Reformasi Struktural dengan membenahi struktur Polri dari tingkat pusat hingga ke unit terkecil. Kemudian kepolisian juga harus dapat menempatkan personel dan struktur terbesar pada kepolisian di tingkat terkecil untuk menjangkau ke seluruh lapisan masyarakat. Peranan kepolisian dalam hal mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat sangat penting. Polisi memiliki peranan preventif, preemptif dan represif dalam menanggulangi kejahatan. Sebagai alat negara, polisi memperkuat Negara dalam masyarakat agar tidak kalah pada kejahatan.
Diskresi adalah suatu wewenang yang menyangkut kebijaksanaan untuk pengambilan suatu keputusan pada situasi dan kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang dalam hal ini polisi. Pemberian diskresi pada polisi pada saat penyidikan pada hakekatnya bertentangan dengan negara yang berdasarkan atas hukum, karena diskresi ini menghilangkan kepastian terhadap apa yang akan terjadi. Dalam sistem peradilan pidana apabila kewenangan diskresi ini ditutup sama sekali maka akan terjadi ketidakefisienan dan ketidakefektifan bahkan kemacetan sistem peradilan pidana.
Pelaksanaan diskresi oleh polisi memiliki dasar hukum yang menjadi pedomannya, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, hukum tidak tertulis yang berlaku didalam masyarakat, pendapat para ahli hukum, dan yurisprudensi. Adapun pelaksanaan diskresi tersebut diserahkan kepada masing-masing petugas kepolisian di lapangan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan demi kepentingan umum yang lebih luas.
Diskresi di atur dalam pasal 18 ayat (1, 2) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Diskresi kepolisian adalah wewenang yang di berikan oleh undang-undang kepada setiap anggota kepolisian dalam menjalankan tugasnya yang menyangkut kebijaksanaan untuk pengambilan suatu keputusan pada situasi dan kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang dalam hal ini polisi. Hasil ideal yang diharapkan terhadap suatu tatanan dalam masyarakat yang didasarkan pada hukum memang sulit di capai. Dalam arti apabila semua hal dan tindakan diatur oleh peraturan yang jelas dan tegas, maka hasil yang diharapkan sulit dicapai. Dalam sistem peradilan pidana apabila kewenangan diskresi ini ditutup sama sekali maka akan terjadi ketidakefisienan dan ketidakefektifan bahkan kemacetan sistem peradilan pidana.
Diskresi adalah suatu tindakan menurut penilaian polisi pada kondisi tertentu (maksudnya dalam bertugas) selama tidak menyimpang dari kewenangan wilayah hukumnya, tidak bertentangan dengan aturan-aturan umum pemerintahan yang baik dan tidak melanggar hak asasi manusia. Berdasarkan pasal 18 bahwa diskresi kepolisian adalah solusi bagi aparat kepolisian Republik Indonesia selaku alat negara dalam proses penegakan hukum. Namun pelaksanaan diskresi bagi setiap personil Polri berbeda-beda karena sangat situsasional dan subjektif dalam penerapannya. Diskresi juga mempunyai sisi negatif atau menyimpang yang dapat menyebabkan aparat kepolisian cenderung menggunakannya sebagai alat untuk memperoleh sesuatu keuntungan demi dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar