Konflik atau sengketa lingkungan
pada umumnya memiliki ciri khusus seperti sifatnya yang rumit (polycentric)
karena pembuktian yang bersifat ilmiah (sciantifically evidance),
penyelesaiannya bersifat jangka panjang serta seringkali melibatkan pihak-pihak
(stakeholders) yang tidak hanya terbatas pada “injurer vs injured” (pihak
pencemar atau perusak dengan pihak yang dirugikan ) akan tetapi juga merka yang
memiliki kepedulian. Hukum lingkungan (environmental law) adalah hukum yang
mengatur tingkah laku manusia (masyarakat) terhadap lingkungan. Tujuannya
adalah untuk memelihara, mengendalikan, melindungi, dan melestariakan fungsi
lingkungan hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan Hidup (UUPLH)
dan kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satu hal yang penting
dalam UUPPLH ini adalah pengaturan mengenai ketentuan penyelesaian sengketa
lingkungan (Alternative Dispute Resolution) diluar pengadilan dan pembentukan
Lembaga penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa Lingkungan hidup sebagaimana diatur
dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 87. Pengaturan penyelesaian sengketa
lingkungan bertjuan untuk mendapatkan kesepakatan tentang bentuk pilihan
(negosiasi, mediasi, arbitase) dan besarnya ganti kerugian serta tindakan
tertentu yang harus dilakukan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
Konflik atau sengketa yang disebabkan oleh
proses-proses pembangunan merupakan fenomena yang menonjol, terutama dalam
dekade terakhir ini. Gejala semacam ini dapat dijumpai di negara-negara
berkembang yang sedang melakukan proses pembangunan termasuk juga Indonesia.
Kondisi ini merupakan konsekuensi logis atas pilihan strategi pembangunan yang
umumnya ditempuh oleh negara-negara berkembang pasca Perang Dingin II melalui
konsep Industrialisasi.
Begitupun dengan persoalan yang terjadi di Cilacap
dimana pada hari selasa tanggal 2 Agustus 2005, sekira pukul 15.00 wib, ada
laporan dari masyarakat Nelayan di Cilacap mengenai adanya tumpahan minyak di
sekitar pantai Sentolokawat, Cilacap. Tumpahan minyak tersebut di duga berasal
dari kolam penampungan limbah milik Pertamina yang di duga bocor. Masyarakat
Nelayan merasa tumpahan minyak tesebut mengganggu aktifitas mereka saat mencari
ikan yang merupakan mata pencaharian mereka. Kemudian dari Polres, Pemda (dalam
hal ini DKLH), dan dari Pertamina sendiri, bersama-sama melihat ke Tempat
Kejadian. Memang di dapati adanya semacam lumpur hitam di atas permukaan air
laut di sepanjang pantai tersebut, namun tidak sampai lebih dari 500 meter dari
pinggir pantai. Pihak Pertamina menduga jika kebocoran tersebut berasal dari
kolam penampungan limbah yang sedang dalam perbaikan. Kemudian dari Polres dan
DKLH mengambil sampel air untuk dilakukan pemeriksaan di Laboratorium Forensik.
Dari hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik, di dapati hasil bahwa memang
benar air laut di tempat kejadian tersebut tercemar oleh lumpur minyak
tersebut. Namun dari pihak Pertamina juga sudah mengakui adanya pencemaran
tersebut dan sudah melakukan upaya dengan penyemprotan semacam busa untuk
meredam pencemaran tersebut, dan menghendapkan lumpur minyak tersebut. Pihak
DKLH sebagai pengawas lingkungan hidup, dengan pertimbangan karena melihat
pencemaran yang terjadi masih relatif kecil dan sudah mulai dilakukan
penanganan agar tidak meluas, maka pihak DKLH menyarankan kepada pihak
Pertamina agar melakukan upaya musyawarah dengan para nelayan yang merasa di
rugikan untuk dapat menemukan titik terang penyelesaian sengketa yang terjadi.
Selain itu juga agar pihak pertamina melakukan pembersihan dan relokasi pada
daerah yang tercemar tersebut. Pada akhirnya pihak Pertamina memberikan semacam
dana tali asih kepada nelayan untuk mengganti jaring yang rusak. Dan dengan
mendasari surat dari Bupati Cilacap kepada Pertamina, maka masalah ini di
anggap selesai.
Upaya yang dilakukan lebih banyak di pengaruhi oleh faktor lain di luar faktor semangat untuk ikut menjaga kelestarian lingkungan hidup. Jika di lihat kenyataannya yang ada, sebenarnya bentuk pencemaran yang terjadi akibat kegiatan yang dilakukan oleh PT. Pertamina yang lalai
tersebut sudah terbukti sebagai bentuk pencemaran terhadap lingkungan hidup.
Kerusakan yang di akibatkan dalam peristiwa ini mempengaruhi masyarakat Nelayan
sebagai pengguna utama lautan. Namun di karenakan kerugiannya yang relatif
tidak terlalu besar, dan Pertamina sebagai pelaku pencemar sudah mengakui dan
sudah melakukan upaya pembersihan, maka hanya dilakukan upaya damai untuk
menyelesaikan sengjeta yang terjadi. Dari contoh tersebut, penerapan bentuk
azas Ultimum Remedium dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah mulai familiar di
Indonesia. Saat ini telah berkembang lembaga penyelesaian konflik lingkungan
hidup di (Liar pengadilan yang biasa disebut dengan Alternative Dispute
Resolution (ADR).
Format
ADR yang digunakan dalam kasus ini adalah menggunakan pendekatan negosiasi dan
mediasi. Hanya saja, bentuk ADR ini belum secara maksimal mengatasi pencemaran
yang terjadi. Namun di harapkan dengan di berlakukannya undang-undang
lingkungan hidup yang terbaru, yaitu Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, upaya perlindungan dan
pelestarian lingkungan hidup di Indonesia akan semakin baik. Harapan kita
bersama agar lingkungan hidup Indonesia yang kaya dengan beragam hayati dapat
tetap lestari karena sumberdaya alam yang kita miliki dalam lingkungan hidup
kita adalah titipan dari anak cucu kita yang harus kita jaga agar generasi kita
di masa yang akan datang tetap dapat menikmati kekayaan sumberdaya alam yang
kita nikmati sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar