Rabu, Maret 28, 2012

PENGARUH PELATIHAN PENGENDALIAN MASSA TERHADAP KOMPETENSI ANGGOTA DALMAS SAT SABHARA DALAM PENANGANAN AKSI DEMONSTRASI


Abstrak
“Profesionalisme kepolisian dapat dilihat, diukur, dan dirasakan secara signifikan hasilnya oleh masyarakat yaitu adanya jaminan keamanan dan rasa aman warga masyarakat dalam melaksanakan aktifitas”. Polri sebagai aparat penegak hukum yang banyak menangani permasalahan publik di Indonesia, di tuntut pula untuk dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin maju dan kritis. Maraknya aksi demonstrasi seringkali dirasakan menggangu ketertiban dan kelancaran kegiatan sosial masyarakat serta sering menimbulkan gangguan keamanan. Polri diberi kewenangan untuk menata keamanan dan ketertiban, agar kepentingan umum yang lebih besar tidak terkorbankan. Untuk dapat mewujudkan harapan dan kepercayaan masyarakat tersebut, di perlukan kompetensi yang baik dari pelaksana atau sumber daya manusianya yaitu personil Polri khususnya anggota Unit Dalmas. Meskipun beberapa ahli menyatakan bahwa kompetensi perilaku sulit untuk dirubah dan dikembangkan, namun kompetensi dapat di ajarkan dan dilatihkan.(disadur dari Budi Gunawan, 2006:145).


Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia(HAM). Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan perwujudan Hak Asasi Manusia (HAM), dmana dalam pasal tersebut disebutkan pengakuan terhadap hak setiap orang untuk mengeluarkan pendapat. Dalam pasal 28 huruf (e) ayat (3) amandemen kedua UUD 1945, tertulis bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Pada hakekatnya, negara dengan bentuk demokrasi menghendaki adanya kebebasan dalam bernegara, dengan di batasi oleh hukum yang ada. Kebebasan yang bertanggungjawab, bukan kebebasan yang sewenang-wenang tanpa batas dan tanpa memperhatikan norma-norma yang berlaku.
Pembangunan nasional Indonesia secara umum telah menciptakan kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Dewasa ini dengan semakin berkembangnya peradaban dan teknologi, semakin banyak terjadi problem yang beraneka ragam di dalam masyarakat. Salah satunya adalah terjadinya konflik yang beragam di dalam masyarakat itu sendiri, mengikuti perkembangan jaman. Jika kita melihat melalui media massa yang ada, setiap hari selalu ada aksi demonstrasi atau unjuk rasa di Indonesia. Maraknya aksi demonstrasi seringkali dirasakan menggangu ketertiban dan kelancaran kegiatan sosial masyarakat serta sering menimbulkan gangguan keamanan. Kita tentunya sependapat bahwa dalam era demokrasi ini, setiap warga negara memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Namun dalam mengekspresikan apa yang diperjuangkan, tetap harus memperhatikan kaidah yang berlaku. Jangan sampai kebebasan yang dilakukan malah mengganggu keamanan dan ketertiban.
Indonesia sudah memiliki Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, namun pada kenyataannya masih belum semua masyarakat mematuhinya. Bahkan terkadang pada akhirnya dalam aksi demonstrasi selalu berujung pada timbulnya tindakan kekerasan/anarkhis yang dilakukan oleh massa demonstran maupun dari aparat yang mengamankan aksi tersebut.
Polri terus menerus berupaya untuk dapat memperbaiki kinerjanya. Polri sendiri menyadari jika belum mampu sepenuhnya untuk dapat menjawab tuntutan dari masyarakat Indonesia yang menginginkan peningkatan dan perbaikan dalam pelayanan yang dilakukan oleh Polri, untuk mengimbangi pembangunan yang semakin berkembang. Namun masyarakat dapat menilai, jika kemampuan Polri sampai saat ini memang belum banyak perkembangannya. Hal itu dapat di lihat dari masih banyaknya  celaan, cemoohan, dan tudingan bahwa Polri belum dapat bertindak secara profesional. Chryshnanda DL (2011: Edisi 075 / Juni-Nopember) menyebutkan bahwa “Profesionalisme kepolisian dapat dilihat, diukur, dan dirasakan secara signifikan hasilnya oleh masyarakat yaitu adanya jaminan keamanan dan rasa aman warga masyarakat dalam melaksanakan aktifitas”. Polri sebagai aparat penegak hukum yang banyak menangani permasalahan publik di Indonesia, di tuntut pula untuk dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin maju dan kritis.
Dalam menciptakan sebuah situasi masyarakat yang aman dan tertib bukanlah sebuah hal mudah. Berbagai tantangan kerja bagi Polri selalu datang silih berganti dan tiada habisnya. Salah satunya adalah berbagai bentuk demonstrasi yang di lakukan oleh masyarakat Indonesia sebagai sebuah bentuk ungkapan aspirasi masyarakat di muka umum. Ketika Polri melihat bahwa aksi demonstrasi sudah mulai mengganggu keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, sudah menjadi kewajiban aparat kepolisian untuk bertindak. Tugas Polri dalam mengendalikan massa dalam kegiatan-kegiatan demonstrasi di emban oleh fungsi Sabhara dan terkhusus dalam unit Dalmas Polri.
Polri diberi kewenangan untuk menata keamanan dan ketertiban, agar kepentingan umum yang lebih besar tidak terkorbankan. Tentu ada cara yang juga harus dipenuhi aparat kepolisian untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban. Di era demokrasi seperti sekarang ini, di mana aturan pelibatan (rules of engagement) penanganan demonstrasi sudah dirumuskan secara jelas, maka tindakan penegakan hukum tidak boleh sampai melanggar hukum, apalagi melanggar hak asasi manusia. Hal inilah yang perlu di perhatikan oleh Polri maupun semua pihak, untuk dapat melihat setiap penanganan aksi demonstrasi dari berbagai aspek.Untuk dapat melaksanakan penanganan demonstrasi dengan baik, maka di butuhkan personil unit Dalmas Polri yang memiliki profil terampil, cakap dan mumpuni guna menunjang tugas-tugas yang di percayakan oleh masyarakat kepada Polri. Agar sasaran dan tujuan organisasi dapat berhasil, maka perlu memaksimalkan sumberdaya yang dimilikinya melalui peningkatan kompetensi. Demikian halnya di Polri, dimana yang di butuhkan adalah peningkatan kompetensi dan profesionalisme anggota unit Dalmas Polri terutama dalam menanggulangi berbagai demonstrasi di Indonesia. Untuk dapat mewujudkan harapan dan kepercayaan masyarakat tersebut, di perlukan kompetensi yang baik dari pelaksana atau sumber daya manusianya yaitu personil Polri khususnya anggota Unit Dalmas.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) memiliki peran strategis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam organisasi, yaitu sumber daya manusia yang profesional baik memiliki kompetensi, sikap dan perilaku yang diharapkan sesuai dengan tugas dan peranan dalam jabatan tertentu. Kompetensi seseorang dapat dilihat dari knowledge, Skills, dan Attitude (KSA). Proporsi knowledge dan attitude lebih dapat diperoleh seseorang melalui proses pendidikan dan pelatihan.(disadur dari Dharma Setyawan Salam, Vol 1/No.1/2005). Meskipun beberapa ahli menyatakan bahwa kompetensi perilaku sulit untuk dirubah dan dikembangkan, namun kompetensi dapat di ajarkan dan dilatihkan.(disadur dari Budi Gunawan, 2006:145). Sebagaimana di sebutkan juga definisi pelatihan menurut Polri adalah:
“Pelatihan adalah “suatu upaya atau proses, cara perbuatan, kegiatan untuk memberikan, memelihara, meningkatkan kemampuan dan keterampilan dengan metode yang lebih mengutamakan praktek mahir atau terbiasa untuk melakukan sesuatu tugas atau pekerjaan” (Peraturan Kapolri 2010: pasal 1)
Kemudian menurut Siagian (1988:175) dalam Khairul Akhir Lubis (2008:27) definisi Pelatihan adalah:
 Proses belajar mengajar dengan menggunakan teknik dan metoda tertentu secara konsepsional dapat dikatakan bahwa latihan dimaksudkan untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuan kerja seseorang atau sekelompok orang. Biasanya yang sudah bekerja pada suatu organisasi yang efisiensi, efektivitas, dan produktivitas kerjanya dirasakan perlu untuk di tingkatkan secara terarah dan pragmatik.”
Maka dapat dikatakan bahwa ada keterkaitan pelatihan dengan ranah pendidikan/pembelajaran. Sehingga indikator pelatihan dapat terwakili dalam indikator pendidikan/pembelajaran. Indikator pendidikan/pembelajaran dapat dilihat dalam taksonomi belajar Bloom dan Krathwohl  yang menyebutkan bahwa dalam pembelajaran meliputi tiga ranah yaitu kognitif, psikomotor, dan afektif. Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu cipta, rasa, dan karsa yang dapat juga di definisikan dalam istilah penalaran, penghayatan, dan pengamalan. (2012: http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom).
Secara lengkap, Taksonomi Bloom adalah sebagai berikut: 
1.     Ranah Kognitif : Bloom membagi domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian pertama berupa adalah Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa Kemampuan dan Keterampilan Intelektual (kategori 2-6)
a.     Knowledge / Pengetahuan, adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali (recall) atau mengingat kembali tentang nama, istilah, gejala, rumus-rumus dan sebagainya tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya” Beberapa kegiatan yang dapat di lihat adalah anggota dalmas mempunyai pengetahuan yang baik mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tugas penanganan aksi demonstrasi sebagaimana yang diperolehnya melalui pelatihan dalmas.
b.     Comprehension / Pemahaman, adalah “kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat”. Pelatihan dalmas yang intensif dilakukan juga meningkatkan pemahaman tentang tugas dan tanggungjawab pekerjaannya. Dengan pemahaman yang baik akan mendukung tingkat pengetahuan yang dimiliki.
c.     Application / Aplikasi, adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori, dan sebagainya, dalam situasi baru dan konkret”. Kemampuan aplikasi adalah mampu memikirkan tentang penerapan konsep kedisiplinan yang diajarkan dalam tugasnya sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal..
d.     Analysis/Analisis, adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan diantara bagian-bagian atau faktor-faktor lainnya. Hal yang dapat di lihat adalah dimana pelatihan dilaksanakan untuk dapat melatih anggota dalmas merenung dan memikirkan dengan baik tentang pengetahuan dan ketarampilan yang di latihkan.
e.     Synthesis / Sintesis, adalah kemampuan berfikir yang merupakan kebalikan dari berpikir analisis.  Anggota dalmas dilatih mempunyai kemampuan sintesis yang baik, yang dapat dibuktikan dengan anggota dalmas dilatih untuk mampu melakukan apa yang sudah di latihkan kemudian menjelaskannya secara umum apa fungsi dan gunanya dalam tugas.
f.      Evaluation / Evaluasi, adalah merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif”. Dalam taraf ini, anggota dalmas di latih untuk mampu menimbang-nimbang tentang manfaat yang dapat dipetik dari tindakannya atau akibat-akibat negatif yang dapat menimpa seseorang ketika mereka bertindak sesuai prosedur, hingga pada akhirnya dapat mengambil kesimpulan penilaian, bahwa pelatihan dalmas adalah penting.
Beberapa pelatihan yang dilakukan antara lain Pelatihan dasar kepolisian, pengetahuan tentang prosedur dan teknik pengendalian massa, Pengenalan aturan keselamatan, pedoman pengendalian huru hara, dan penggunaan kekuatan kepolisian, Teori pada materi khusus penggunaan tameng dan gas air mata, Praktek beladiri Polri, pola pemikiran yang baru dengan berpedoman pada konsep-konsep materi pelatihan, mengevaluasi pelaksanaan tugas penanganan demonstrasi, serta Latihan simulasi.

2.     Ranah Psikomotor. Rincian dalam domain ini tidak dibuat oleh Bloom, tapi oleh ahli lain berdasarkan domain yang dibuat Bloom. Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. (2011: fatimatuzzahrofadhil).
a.     Perception(persepsi, Penggunaan alat indera untuk menjadi pegangan dalam membantu gerakan.
b.     Set (kesiapan), adalah kesiapan untk melakukan suatu tindakan atau untuk bereaksi terhadap sesuatu kejadian menurut cara tertentu. Ada tiga aspek set, yaitu aspek intelektual, aspek fisik, dan aspek emosional.
c.     Guided response (respon terpimpin), Inilah tingkat pemulaan dalam mengembangkan keterampilan motoris. Yang ditekankan ialah kemampuan-kemampuan yang merupakan bagian dari keterampilan yang lebih kompleks. Respon terbimbing adalah perbuatan individu yang dapat diamati, yang terjadi dengan bimbingan individu lain. Kegiatan kerjasama dalam gerakan dapat di asumsikan dalam tahap ini..
d.     Mechanism (mekanisme), Membiasakan gerakan-gerakan yang telah dipelajari sehingga tampil dengan meyakinkan dan cakap. Sudah terbentuk kebiasaan dalam dirinya untuk ber-respon sesuai dengan jenis-jenis perangsang dan situasi yang dihadapi. Kecepatan dalam mempersiapkan perlengkapan dalmas maupun pendukungnya merupakan contoh dari respon mekanistis.
e.     Complex overt response (respon tampak yang komplek), Gerakan motoris yang terampil yang di dalamnya terdiri dari pola-pola gerakan yang kompleks. Perbuatan itu dapat dilakukan secara efisien dan lancar, yaitu dengan menggunakan tenaga dan waktu yang sesedikit mungkin. Misalnya adalah pelatihan beladiri, atau reflek untuk menghindar dari aksi anarkhis massa.
f.      Adaptation (adaptasi), Keterampilan yang sudah berkembang sehingga dapat disesuaikan dalam berbagai situasi.
g.     Origination (penciptaan), Membuat pola gerakan baru yang disesuaikan dengan situasi atau permasalahan tertentu.
Beberapa pelatihan yang dilaksanakan antara lain persepsi terhadap kebijakan pimpinan dan tugas/tanggung jawabnya, pembinaan fisik, pergerakan regu/tim, bekerja sesuai pedoman/arahan pimpinan serta protap yang sudah di gariskan dalam aturan yang berlaku, beradaptasi dengan situasi tugas, teknik beladiri yang terkontrol, serta gerakan baru yang di adopsi dari pelatihan sebelumnya.

3.     Ranah Afeksi, Pembagian domain ini disusun Bloom bersama dengan David Krathwol. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti: perhatiannya terhadap materi yang dilatihkan, kedisiplinannya dalam mengikuti pelatihan, dsb
a.     Receiving (menerima atau memperhatikan), Kesediaan untuk menyadari adanya suatu fenomena di lingkungannya. Dalam pengajaran bentuknya berupa mendapatkan perhatian, mempertahankannya, dan mengarahkannya. Wujudnya dapat berupa kesadaran anggota Unit Dalmas bahwa disiplin wajib ditegakkan, dan sifat malas / tidak berdisiplin harus disingkirkan jauh-jauh.
b.     Responding (menanggapi), Memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada di lingkungannya. Kesadaran anggota untuk berkomitmen menunjukkan perilaku bahwa ia bersedia untuk merespon bukan karena takut akan hukuman, namun karena “dirinya sendiri” atau secara sukarela. Unsur penolakan atau keterpaksaan (yielding unwillingly) yang ada pada tingkat sebelumnya, kini digantikan oleh persetujuan yang berasal dari pilihan pribadi seseorang dengan menunjukkan rasa senang, kegembiraan atau suka cita.
c.     Valuing (menghargai), Berkaitan dengan harga atau nilai yang diterapkan pada suatu objek, fenomena, atau tingkah laku. Penilaian berdasar pada internalisasi dari serangkaian nilai tertentu yang diekspresikan ke dalam tingkah laku. Konsep nilai yang abstrak ini sebagian merupakan hasil dari penilaian (valuing) atau asesmen (assessment) dan juga merupakan hasil sosial yang perlahan-lahan telah terserap dalam diri anggota Dalmas (internalized) atau diterima dan digunakannya sebagai kriteria untuk melakukan penilaian. Unsur utama yang terdapat pada perilaku dalam melakukan penilaian adalah bahwa perilaku tersebut dimotivasi, bukan oleh keinginan untuk menjadi siswa yang patuh, namun oleh komitmen terhadap nilai yang mendasari munculnya perilaku.
d.     Organization (mengorganisasikan), Memadukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik di antaranya, dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten. Ketika anggota Unit Dalmas telah menyerap nilai, ia menemui situasi dimana ada lebih dari satu nilai yang relevan sehingga ia perlu melakukan (a) pengaturan beberapa nilai ke dalam sebuah sistem, (b) penentuan hubungan diantara nilai-nilai tersebut, dan (c) penetapan nilai-nilai yang dominan dan mencakup segala hal. Hal ini dapat berupa birokrasi dan garis komando.
e.     Characterization by a value or value complex (karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai), Memiliki sistem nilai yang mengendalikan tingkah-lakunya sehingga menjadi karakteristik gaya-hidupnya

Beberapa pelatihan yang dilaksanakan antara lain selalu berusaha fokus saat mengikuti pelatihan, merespon/aktif akan hal-hal yang dilatihkan, menghargai dilaksanakannya pelatihan, dan juga nilai-nilai dan materi/pengetahuan yang diberikan dalam pelatihan pengedalian massa, menghargai kemampuan pelatih yang memberikan materi pelatihan, belajar bekerja sama dalam tim, mampu mengamalkan nilai-nilai positif yang diperoleh dari pelatihan dalam bertugas, dan perubahan sikap menjadi lebih baik.
Berdasarkan dari beberapa pembahasan yang di kemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah suatu kegiatan dan proses belajar dan mengajar yang dilaksanakan secara sistematis dan konsepsional dengan lebih mengutamakan praktek mahir atau terbiasa untuk melakukan sesuatu tugas atau pekerjaan, untuk membentuk dan mengembangkan pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap perilaku (afektif) individu maupun kelompok individu guna mencapai dan menghasilkan suatu tujuan tertentu. Dari teori Bloom tersebut, peneliti berpendapat bahwa pada intinya pelatihan adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk mendapatkan dan mengembangkan kemampuan dari apa yang mungkin dikuasai (dipelajari), yang mencakup tiga ranah yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagaimana yang dinyatakan dalam teori belajar Bloom dan Krathwohl, sehingga Peneliti menggunakan teori tersebut untuk menjelaskan teori  pelatihan.
Mengenai pengertian kompetensi dan bagaimana menspesifikasikan suatu model kompetensi, masih sering terjadi ketidaksepakatan pendapat di kalangan para ahli maupun penggunanya. Sampai saat ini tak terhitung banyaknya pengertian mengenai kompetensi. Hal ini sebagian besar disebabkan para ahli, penggagas, dan organisasi-organisasi pengguna kompetensi cenderung lebih menyukai definisi mereka sendiri daripada yang pernah digunakan sebelumnya.
     Kompetensi, model kompetensi, pelatihan berbasis kompetensi, dan kata-kata lain yang berkaitan dengan kompetensi adalah kata-kata yang dilontarkan orang yang artinya hanya sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Permasalahannya muncul dari perbedaan filosofi dan beberapa prosedur mendasar di antara semua pihak yang berlomba untuk mendefinisikan konsep tersebut dan untuk menetapkan model sebagai jalan yang digunakan oleh semua orang nantinya”
(dikutip dari Budi Gunawan, 2006:43)
Dalam kaitannya dengan pendidikan dan pelatihan, kompetensi menunjuk kepada perbuatan (performence) yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu didalam pelaksanaan tugas-tugas. Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang di landasi atas keterampilan dan pengetahuan serta di dukung oleh sikap kerja yang di tuntut oleh pekerjaan tersebut.(disadur dari Wibowo, 2011:324).
Menurut W. Robert Houston yang di kutip oleh Akifa Naila (2012 : http://akifanaila.blogspot.com/) yang juga mengadopsi dari pendapat Spencer and Spencer, disebutkan bahwa “Competence” ordinarily is defined as “adequacy” for a task or as “possession of require knowledge, skill, dan abilities”. (kompetensi adalah sebagai tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan, ketrampilan dan kecakapan/sikap perilaku). Kompetensi menunjukan karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki atau di butuhkan oleh setiap individu yang memampukan mereka untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif dan meningkatkan stardar kualitas profesional dalam pekerjaan mereka. (disadur dari Akifa Naila, 2012 : akifanaila.blogspot.com).
Konsep kompetensi baik sebagai bentuk kemampuan umum maupun kemampuan khusus tentu tidak dengan sendirinya langsung diperoleh dalam diri seseorang. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya kompetensi sumber daya manusia dalam suatu organisasi tentu dipengaruhi secara timbal balik oleh berbagai faktor yang terdapat dalam lingkungan organisasi, salah satunya adalah Pelatihan/Pembelajaran.
Tantangan pekerjaan yang kian meningkat di era reformasi yang di barengi dengan era demokrasi, dan maraknya masyarakat berekspresi melalui kegiatan demonstrasi/unjuk rasa sekarang ini menimbulkan konsekuensi logis perlunya kompetensi yang baik dari Polri terutama anggota dalmas Sat Sabhara dalam menangani aksi-aksi unjuk rasa yang di lakukan oleh masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya. Proses tersebut dapat berjalan dengan baik jika kompetensi yang di miliki anggota Sat Sabhara juga baik. Untuk mendapatkan kompetensi yang baik tentunya di perlukan upaya-upaya yang diantaranya adalah dengan melakukan pelatihan pengendalian massa bagi anggota dalmas Sat Sabhara Polri. Pelatihan pengendalian massa dibutuhkan untuk membantu mewujudkan kompetensi yang baik dari anggota dalmas untuk dapat melaksanaan tugasnya guna mencapai tujuan organisasi.
Penelitian ini dilakukan di Polres Cilacap dengan beberapa pertimbangan, yaitu disamping penulis sudah mengenal betul karakteristik wilayahnya, karena sebelumnya pernah bertugas di sana, juga karena kebetulan pada tahun ini di Cilacap akan dilaksanakan Pilkada Kabupaten yang tentunya membutuhkan kesiapan Unit Dalmas untuk mengantisipasi kejadian aksi demonstrasi nantinya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan model penelitian pengaruh yang menggambarkan hubungan antara variable independen () yaitu pelatihan pengendalian massa dengan menggunakan teori pelatihan/pembelajaran dari Bloom (1956)  dan Krathwohl (1964) yang tersusun dari sub variabel kognitif (X1), psikomotor (X2), dan afektif (X3), dan variable dependen () yaitu kompetensi anggota dalmas Sat Sabhara Polres Cilacap dengan menggunakan teori kompetensi dari W. Robert Houston, “Competence” ordinarily is defined as “adequacy” for a task or as “possession of require knowledge, skill, dan abilities”. (kompetensi adalah sebagai tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan, ketrampilan dan kecakapan/sikap perilaku).

Kerangka Berpikir


Kerangka Hipotesa
Hipotesis Null (Ho) :  µ1 = µ2
Diduga tidak terdapat pengaruh antara pelatihan pengendalian massa terhadap kompetensi anggota dalmas Sat Sabhara dalam penanganan Demonstrasi/unjuk rasa”
Hipotesis Alternatif (Ha) : µ1 ≠ µ2
Diduga terdapat pengaruh antara pelatihan pengendalian massa terhadap kompetensi anggota dalmas Sat Sabhara dalam penanganan Demonstrasi/unjuk rasa”
Dari rumusan hipotesa tersebut, maka dapat diambil rumusan permasalahan dalam penelitian ini, antara lain :
1.     Apakah ada pengaruh secara simultan antara pelatihan pengendalian massa terhadap kompetensi anggota unit dalmas Sat Sabhara dalam penanganan aksi demonstrasi?
2.     Apakah ada pengaruh masing-masing sub variabel pelatihan pengendalian massa terhadap kompetensi anggota unit dalmas Sat Sabhara dalam melaksanakan tugas penanganan aksi demonstrasi?
3.     Sub Variabel pelatihan pengendalian massa yang manakah yang dominan pengaruhnya terhadap kompetensi anggota unit dalmas Sat Sabhara dalam penanganan aksi demonstrasi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar