Sabtu, Maret 17, 2012

PERBANDINGAN SISTEM KEPOLISIAN DI DUNIA

I. PENDAHULUAN
 
A. Latar belakang

Belajar dari sejarah dunia, keberadaan suatu lembaga kepolisian di dalam sebuah negara adalah mutlak diperlukan. Semua negara di dunia ini pasti mempunyai lembaga kepolisian masing-masing. Demikian juga Indonesia, memiliki lembaga kepolisian yang bernama Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kita kenal dengan Polri. Namun lembaga kepolisian yang dimiliki oleh masing-masing negara tersebut belum tentu menggunakan sistem kepolisian yang sama. Adanya pengaruh dari faktor sistem politik/pemerintahan yang dianut serta mekanisme sistem kontrol sosial yang berlaku dalam negara tersebut yang membentuk sistem kepolisian di sebuah negara. Meskipun beberapa negara tersebut sama-sama menganut paham demokratis dalam pemerintahannya, namun belum tentu menggunakan sistem kepolisian yang sama. Kepolisian dinegara manapun selalu berada dalam sebuah dilema kepentingan kekuasaan yang selalu menjadi garda terdepan perbedaan pendapat antara kekuasaan dengan masyarakatnya. Sistem Kepolisian suatu Negara sangat dipengaruhi oleh Sistem Politik serta control sosial yang diterapkan. Berdasarkan konsep diatas dapat dikatakan bahwa secara umum negara merupakan sebuah bentuk kesatuan supra sistem yang terdiri dari berbagai sistem yang saling terkait dan bergerak dinamis didalamnya, antara lain adalah sistem pemerintahan dan sistem sosial dengan tujuan tercapainya keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat.
Pemahaman tentang negara demokratis dimana dalam sistem penyelenggaraan negara terfokus pada tercapainya tujuan negara dalam rangka kesejahteraan rakyat dengan menjunjung tinggi kemerdekaan/Hak Asasi Manusia untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Sehingga dalam suatu supra sistem negara demokratis yang terdiri dari sistem-sistem fungsi penyelenggaraan negara dan selalu berorientasi pada terjaminnya keamanan dan ketertiban dalam dinamika sistem itu sendiri. Adapun sebagai pelaksana fungsi keamanan dan ketertiban dibentuk sebuah sistem didasarkan pada konstitusi yang berlaku dan harus mendapatkan dukungan dari masyarakatnya. Hampir seluruh negara di dunia melegitimasi sebuah struktur kepolisian sebagai penanggungjawab terciptanya keamanan dan ketertiban itu sendiri untuk menjalankan peran dan fungsinya sesuai dasar hukum yang telah di tentukan. Secara universal
, ada tiga kategori sistem kepolisian yang dikenal secara umum sesuai dengan karakteristik fundamental dari setiap negara demokratis yang menganutnya, antara lain:
  1. Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing),
  2. Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing) dan
  3. Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing).
 Ketiga sistem tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa model besar penerapan hukum yang di gunakan di dunia, yaitu model eropa kontinental atau civil law yang di gunakan di beberapa negara eropa di antaranya negara Perancis, Belanda dan Jerman, dan model anglo saxon atau common law yang di gunakan di negara Inggris, Amerika Serikat dan Australia. Sistem Kepolisian Terpisah atau Fragmented System of Policing di terapkan oleh beberapa negara antara lain Belgia, Kanada, Belanda, Zwistzerland dan Amerika Serikat. Kemudian untuk Sistem Kepolisian Terpusat atau Centralized System of Policing di terapkan oleh negara Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark dan  Swedia. Sedangkan Sistem Kepolisian Terpadu atau Integrated System of Policing di terapkan oleh negara Jepang, Australisa, Brasilia dan Inggris.
Sistem kepolisian tersebut tentunya memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Kelebihan dan kekurangan dari masing masing sistem inilah yang memberikan ciri berbeda dari sistem kepolisian tersebut, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa ”tidak ada satu pun sistem kepolisian di dunia ini yang sempurna”. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk mengkaji lebih dalam terkait dengan berbagai kelebihan maupun kekurangan dari masing-masing sistem kepolisian tersebut, melalui suatu metode perbandingan antar sistem kepolisian. Hal ini guna mendapatkan pemahaman secara integral dan spesifik tentang perbedaan yang ada, antara suatu sistem kepolisian yang di terapkan pada suatu negara dengan sistem kepolisian yang di terapkan oleh negara lainnya. Tujuan yang hendak dicapai dari hasil pembandingan sistem-sistem kepolisian tersebut antara lain agar dapat diambil suatu manfaat dari suatu sistem kepolisian yang di terapkan oleh negara tertentu bagi negara lainnya. Manfaat itu antara lain berupa bentuk penataan dan pengembangan organisasi serta pengembangan potensi kerjasama yang dapat di lakukan oleh Kepolisian Indonesia dengan lembaga kepolisian dari negara lain.
Dalam makalah ini, penulis ingin membahas secara lebih fokus tentang perbandingan sistem kepolisian yang di terapkan di Indonesia di bandingkan dengan yang di terapkan di negara Amerika Serikat dan Jepang yang di kenal memiliki sistem kepolisian yang baik dan dinilai dapat di jadikan pembanding yang baik untuk dapat diterapkan pada sistem kepolisian di Indonesia serta mewakili dari masing-masing bentuk sistem kepolisian yang ada. Negara Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menerapkan Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing), kemudian Negara Jepang merupakan salah satu negara yang menerapkan Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing), sedangkan Indonesia sendiri saat ini oleh banyak kalangan masih di anggap termasuk dalam negara yang menerapkan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing). Sistem Kepolisian yang di terapkan oleh Negara Amerika Serikat dan Negara Jepang juga di nilai memiliki nilai positif yang dapat di toru dan di aplikasikan bagi upaya peningkatan profesionalisme lembaga kepolisian di Indonesia. Dengan pembahasan ini, maka akan dapat di lihat posisi sistem kepolisian Indonesia termasuk dalam sistem yang mana saat ini. Makalah ini mencoba untuk menelaah berbagai kelebihan serta kekurangan yang di miliki oleh masing-masing sistem kepolisian dan mengambil manfaatnya bagi sistem kepolisian di Indonesia.

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dimana terdapat beberapa bentuk sistem kepolisian di dunia ini, dan ada beberapa negara yang saling berbeda dalam penerapannya, maka dalam penulisan ini dapat di ambil permasalahan yaitu ”Bagaimana perbandingan sistem kepolisian di negara-negara demokratis yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Indonesia ?” dan “ Termasuk dalam sistem yang manakah sistem Kepolisian yang diterapkan di Indonesia saat ini?


II. PEMBAHASAN

 Pemahaman Konsep Sistem, adalah suatu kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan bagian-bagian yang saling berkaitan, saling ketergantungan, saling bekerjasama berdasarkan aturan tertentu, untuk mencapai tujuan dari system. ( Prof. Djoko Sutono, C.W. Churchman, Matheus, Lempiro). Fokus pembentukan/penerapan sistem kepolisian di negara-negara demokratis berdasar pada, bagaimana memyeimbangkan antara pengendalian kejahatan dengan terjaminnya kebebasan dan keadilan. Di dunia terdapat 3 ( tiga ) kelompok sistem kepolisian, yaitu:

A.       Fragmented System of Policing ( Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri) : Disebut juga system Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system, dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat. Beberapa negara yang besar dan sudah maju menerapkan sistem kepolisian ini. Salah satunya adalah Negara Amerika Serikat yang merupakan negara demokratis modern. Sistem kepolisian terpisah atau Fragmented System of Policing, yaitu suatu sistem kepolisian yang terpisah atau berdiri sendiri, disebut juga sebagai sistem desentralisasi yang ekstrim atau tanpa sistem. Oleh karena itu di dalam sistem tersebut cenderung terjadi kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi polisi yang otonom. Sehingga dalam penerapan paradigma sistem dimaksud senantiasa diiringi dengan dilakukannya pembatasan terhadap kewenangan polisi. Dalam penerapan sistem kepolisian dengan paradigma Fragmented System of Policing tentunya tetap memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan atau kebaikan dari sistem kepolisian ini antara lain :
1.    Polisi dalam sistem ini relatif dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Dalam sistem kepolisian yang berbasis model anglo saxon atau common law, lembaga kepolisian dalam sistem ini tumbuh dari dalam masyarakat sendiri karena diawali oleh adanya kepentingan masyarakat akan suatu lembaga kepolisian. Sehingga dengan dasar itu polisi akan otomatis berusaha untuk dapat lebih peka terhadap berbagai situasi dan kondisi yang terjadi di dalam masyarakat, mengingat mereka di bentuk oleh rakyat dan untuk melayani kepentingan masyarakat yang membentuknya.
2.    Polisi dalam sistem ini memiliki hak otonom, yaitu dalam hal melakukan pengaturan terhadap segala kegiatannya, baik dalam bidang administrasi maupun operasional sesuai dengan struktur masyarakatnya. Antara lembaga kepolisian yang satu dengan yang lainnya tidak terikat dalam suatu kesatuan struktur organisasional atau kelembagaan yang terpusat secara National. Hal ini mebuat masing-masing lembaga kepolisian memiliki aturan kerja masing-masing. Dengan bentuk lembaga kepolisian dengan Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing), mereka memiliki otonomi yang besar dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan maupun tindakan kepolisian dengan senantiasa tetap menyesuaikan terhadap struktur masyarakat setempat, dan pertanggungjawabannya pun kepada masyarakat setempat itu sendiri.
3.    Kemudian juga, kecil kemungkinannya untuk terjadi penyalahgunaan kewenangan dari organisasi polisi yang ada oleh penguasa secara nasional karena sifat pengawasannya yang secara lokal/setempat. Dalam sistem kepolisian ini, pengawasan secara penuh di lakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat daerah setempat. Mereka melakukan pengawasan terhadap kinerja yang di lakukan oleh lembaga kepolisian di daerah tersebut. Keberadaannya di dalam satu daerah yang secara struktural menjadi bagian dari pemerintah daerah, maka akan ada kedekatan secara struktural dalam hal sistem pengawasan yang di lakukan karena bersifat lokal kedaerahan. Hal ini tentunya dapat menjadi pengaruh yang kuat sebagai salah satu bentuk kontrol sosial yang di lakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakatnya terhadap terselenggaranya kinerja lembaga kepolisian tersebut, yang pada akhirnya dapat mewujudkan suatu bentuk pemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yaitu ”Partisipasi, Penegakan Hukum, Transparansi, Kesetaraan, Daya Tanggap, Wawasan ke Depan, Akuntabilitas, Pengawasan, Efisiensi dan Efektifitas, Profesionalisme”1.
4.   Birokrasinya bersifat praktis, yang artinya tidak terlalu panjang dan bertele-tele, namun dapat lebih cepat, terutama dalam hal pengusulan anggaran yang akan di pergunakan untuk membiayai kegiatan operasional kepolisian, karena langsung diajukan kepada pemerintah daerah setempat. Dalam sistem ini, segala kegiatan yang dilakukan oleh lembaga kepolisian di tanggung oleh anggaran yang dimiliki oleh pemerintah daerah setempat, sehingga lembaga kepolisian hanya melalui satu tahap saja dalam melakukan akses pengajuan birokrasi dan penetapan kebijakan publik terhadap pemerintah daerah setempat. Termasuk dalam hal ini adalah pengajuan dukungan anggaran kepolisian dan perlengkapannya. Hal ini berbeda dengan sistem yang di terapkan di Indonesia yaitu Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing), dimana terdapat rangkaian birokrasi yang cenderung panjang dan rumit sehingga di rasa tidak cukup efektif dalam hal penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang akan di lakukan oleh lembaga kepolisian

Sementara itu, di samping kelebihan atau kebaikan yang di miliki, ada juga beberapa kelemahan yang dimiliki dalam Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing) , yang di antaranya adalah :
1.    Dalam sistem kepolisian ini, pelaksanaan kegiatan penegakan hukum dilaksanakan secara terpisah atau berdiri sendiri, dan juga kewenangan dari lembaga kepolisian tersebut terbatas hanya pada lingkup daerah dimana lembaga kepolisian tersebut berada. Sehingga dalam pelaksanaannya di mungkinkan akan terjadi hambatan atau dapat menimbulkan dampak kesulitan tersendiri bagi lembaga kepolisian ketika harus menangani kasus-kasus kejahatan yang melibatkan wilayah hukum yang luas di luar dari wilayah hukum lokal yang menjadi kewenangan dari lembaga kepolisian tersebut. Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan yang dijadikan sebagai dasar hukum bagi lembaga kepolisian di suatu daerah tertentu tersebut hanya akan memberikan kewenangan kepolisian, termasuk dalam hal penegakan hukum, bagi lembaga kepolisian tersebut hanya meliputi daerah lokal saja dimana lembaga kepolisian tersebut berada. Pembuatan peraturan perundang-undangan bagi setiap lembaga kepolisian merupakan kewenangan dari setiap pemerintah daerah dimana suatu lembaga kepolisian berada.
2.  Tidak adanya suatu standar profesionalisme di bidang kepolisian akibat dari terjadinya fragmentasi sistem kepolisian di masing-masing daerah. Hal ini disebabkan karena setiap lembaga kepolisian diatur oleh setiap peraturan perundang-undangan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga akan terjadi kesulitan manakala akan dilakukan standarisasi terkait dengan profesionalisme di bidang kepolisian, mengingat banyaknya peraturan perundang-undangan tersebut sehingga akan cukup menyulitkan jika harus dilakukan suatu standarisasi, kecuali dengan jalan merubah semua peraturan perundang-undangan yang sudah ada lebih dulu yang di dalamnya dilakukan suatu revisi yang memungkinkan untuk dilakukannya suatu standarisasi profesionalisme dimaksud. Pelaksanaan pengawasan yang bersifat lokal kedaerahan menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya mekanisme kontrol dengan baik, karena bentuk dari pengawasan hanya terjadi dalam satu level organisasi daerah, dan tidak terdapat sistem kontrol pengawasan lagi diatasnya dengan wewenang yang lebih tinggi. Bentuk pelaksanaan pengawasan yang bersifat lokal memang memiliki dampak yang positif, dalam mewujudkan keefektifan birokrasi. Namun di sisi lain, bentuk pengawasan ini  memiliki dampak yang negatif, terutama dikarenakan tidak adanya mekanisme kontrol secara berlapis atau berjenjang. Sehingga jika sistem pengawasan yang ada ternyata bekerja tidak optimal dalam menjalankan fungsinya, maka tidak akan ada lagi koreksi/kontrol dari lapis pengawasan lainnya / di atasnya. Hal ini rawan karena dapat mengakibatkan antara lain terjadinya suatu penyimpangan yang di lakukan oleh pengawasan itu sendiri dan lolosnya kesalahan yang di buat dari pengawasan,yang di lakukan pengawas yang terbatas, sehingga kemungkinan besar selamanya penyimpangan tersebut tidak akan diketahui oleh publik.

Sistem kepolisian dengan paradigma tersebut memiliki ciri-ciri, antara lain yaitu :
1.    Kewenangan yang dimiliki lembaga kepolisian dalam sistem ini bersifat terbatas, yaitu hanya sebatas pada lingkup daerah di mana suatu badan kepolisian itu berada. Hal ini dikarenakan secara umum, lembaga kepolisian di negara yang menerapkan sistem kepolisian ini berupa negara-negara bagian yang memiliki otonomi penuh atas wilayahnya masing-masing. Selain itu, lembaga kepolisiannya memang dibentuk oleh pemerintah daerah setempat dan diatur dengan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat itu sendiri. Sehingga tugas pokok dan wewenang lembaga kepolisiannya pun hanya menjangkau daerah tersebut. Hal itu juga mempengaruhi bentuk atribut, seragam, serta nama yang di gunakan oleh lembaga kepolisian yang ada menjadi berbeda-beda, karena tergantung dari kebijakan dari pemerintah daerah setempat.
2.    Dalam sistem ini pelaksanaan pengawasan terhadap lembaga kepolisian sifatnya lokal, yang artinya bahwa pengawasan yang dilakukan terhadap pelaksanaan tugas-tugas serta wewenang kepolisian dilakukan oleh tiap-tiap struktur lokal yang ditentukan dalam suatu lembaga kepolisian. Termasuk dalam hal ini pengawasan terutama dilakukan secara melekat oleh publik atau masyarakat daerah setempat dimana suatu lembaga kepolisian tersebut berada. Pemerintah pusat tidak mempunyai kewenangan untuk turut campur dalam permasalahan yang mencakup atau masih dalam taraf kewenangan dari daerah itu sendiri. Dalam hal ini ada kecenderung karena dipengaruhi oleh basic model penerapan hukum yang dianut di negara tersebut, yang kebanyakan adalah model anglo saxon atau common law. Dimana dalam sistem kepolisian ini, lembaga kepolisian tumbuh atau di bangun dari adanya kepentingan dalam masyarakat sendiri sehingga representasi polisi dalam model tersebut dapat dikatakan sebagai representasi dari masyarakat itu sendiri atau dapat di katakan juga bahwa polisi adalah sebagai milik masyarakat. Dapat dikatakan seperti itu karena munculnya lembaga kepolisian pada awalnya bukan dikarenakan oleh adanya kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat.
3.    Dalam sistem kepolisian ini, pelaksanaan penegakan hukum dilaksanakan secara terpisah atau berdiri sendiri. Yang dimaksud dalam hal ini yaitu bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum dalam sistem kepolisian tersebut, suatu lembaga kepolisian pada daerah tertentu tidak bisa memasuki wilayah hukum daerah yang lain. Hal ini disebabkan karena setiap lembaga kepolisian di negara yang menerapkan sistem kepolisian ini diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan tersendiri yang ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah setempat, termasuk dalam hal teknis pelaksanaan penegakan hukumnya. Hal ini berbeda dengan bentuk sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing), yaitu dimana pelaksanaan penegakan hukum dilaksanakan secara nasional, tidak secara terpisah atau berdiri sendiri.

B.       Centralized System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpusat) . Berada langsung dibawah kendali pemerintah. Sistem ini dahulunya dianut oleh sistem pemerintahan yang totaliter seperti Jerman pada era Nazi. Negara-negara yang menganut sistem kepolisian ini antara lain Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark dan Swedia. Sistem kepolisian ini memiliki beberapa kekurangan atau kelemahan, antara lain :
1.    Cenderung dijauhi / kurang didukung masyarakat karena cenderung lebih memihak kepada penguasa. Hal ini dikarenakan lembaga kepolisian dalam negara dengan sistem kepolisian terpusat muncul dari adanya kepentingan negara tersebut akan perlunya suatu lembaga kepolisian sehingga terjadi kecenderungan dimana lembaga kepolisian akan menjadi alat kekuasaan daripada menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Berbeda halnya dengan negara dengan sistem kepolisian terpisah dimana lembaga kepolisian muncul dari adanya kepentingan masyarakat sehingga lembaga kepolisian yang demikian akan lebih peka terhadap situasi dan kondisi di dalam masyarakat yang pada akhirnya tugas pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat akan dapat terlaksana secara optimal tercapai ketentraman di dalam masyarakat.
2.    Birokrasinya juga terlalu panjang, mulai dari level paling bawah hingga paling atas terletak dalam satu rangkaian sistem birokrasi. Hal ini memang masalah yang selalu melekat pada setiap organisasi dengan rantai birokrasi yang terlalu panjang karena banyaknya lapis birokrasi yang harus di lewati untuk mengajukan suatu kebijakan. Hal ini menimbulkan ketidakefektifan maupun ketidakefisienan kinerja lembaga kepolisian tersebut.
3.    Kurang dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, karena panjang dan gemuknya rentang struktural dalam sistem kepolisian tersebut. Hal ini cenderung dikarenakan oleh karakteristik penyelenggaraan kebijakan-kebijakanpublik di bidang kepolisian bersifat top down, tidak bootom up, sehingga seringkali tidak tepat dan sulit menyesuaikan dengan masyarakat lokal dimana lembaga kepolisian lokal berada.
4.    Terdapat kerentanan yang tinggi terhadap munculnya intervensi penguasa serta penyalahgunaan organisasi maupun wewenang kepolisian untuk kepentingan penguasa. Hal ini dikarenakan lembaga kepolisian dengan sistem kepolisian terpusat selalu memiliki ketergantungan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa dengan kekuatan politik pendukungnya sehingga intervensi terhadap lembaga kepolisian dapat dengan mudah terjadi oleh penguasa ketika lembaga kepolisian tersebut tidak lagi mengindahkan posisi dan perannya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, melainkan justru menjadi alat kekuasaan karena adanya kepentingan tertentu.

Sedangkan beberapa kelebihan atau kebaikan dari sistem kepolisian terpusat (Centralized System of Policing) tersebut, antara lain yaitu :
1.    Mudahnya sistem komando dan pengendalian karena dapat dilaksanakan secara terpusat. Hal ini dikarenakan dalam struktur lembaga kepolisian dengan sistem kepolisian terpusat terdapat wewenang yang dimiliki oleh struktur teratas untuk melakukan pengendalian maupun komando tertentu terhadap seluruh kesatuan di bawahnya. Pusat memiliki wewenang untuk memberikan komando maupun melaksanakan pengawasan terhadap setiap lapis struktur kesatuan di bawahnya Namun demikian, kelebihan tersebut juga dapat dipandang sebagai kelemahan mengingat akan terjadi suatu sistem komando dan pengendalian yang tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas dari lembaga kepolisian tersebut.
2.    Wilayah kewenangan hukumnya lebih luas dibandingkan dengan sistem desentralisasi, karena kewenangan tersebut bersifat nasional, sehingga tidak terdapat hambatan terkait dengan hal-hal yurisdiksional terutama terkait dengan pelaksanaan penegakan hukum.
3.    Terdapat standarisasi profesionalisme, efisiensi dan efektivitas baik dalam bidang administrasi maupun operasional. Hal ini sangat dimungkinkan dilaksanakan dalam suatu lembaga kepolisian dengan sistem kepolisian terpusat mengingat seluruh lembaga kepolisian berada dalam satu wadah lembaga kepolisian nasional yang diatur berdasarkan satu peraturan perundang-undangan.
4.    Ruang lingkup pengawasan dalam sistem ini sifatnya lebih luas dibandingkan dengan sistem desentralisasi karena pengawasan tidak hanya pada tataran lokal tapi secara berjenjang sampai dengan level nasional.

C.       Integrated System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpadu), disebut juga system desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan system control yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan.. Dalam sistem kepolisian bentuk ini terdapat sistem kontrol / pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan tujuan agar dapat dihindari berbagai tindak penyalahgunaan organisasi polisi nasional serta guna mencapai efektivitas, efisiensi dan keseragaman dalam hal pelaksanaan pelayanan yang harus di berikan kepada publik atau masyarakat. Negara-negara yang menganut sistem kepolisian ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, Inggris dan Indonesia. Sesuai dengan bentuk typenya yang terpadu, maka kelebihan maupun kelemahan yang terdapat dalam Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing) dapat berasal dari kelebihan atau kelemahan Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing) ataupun dari Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing). Dalam sistem kepolisian dengan paradigma Integrated System of Policing tersebut juga tentunya mempunyai kelebihan atau kebaikan maupun kekurangan atau kelemahan. Beberapa kelebihan atau kebaikan dari sistem kepolisian ini, antara lain :
1.    Birokrasinya relatif lebih efektif atau tidak terlalu panjang, karena di dalam sistem kepolisian ini, pemerintah pusat turut serta dalam hal tanggung jawab terhadap kepolisian yang ada, di samping pemerintah daerah yang lebih intens bertanggung jawab terhadap operasional lembaga kepolisian di daerahnya masing-masing. Hal ini merupakan perpaduan antara Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing) dengan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing), yaitu dimana suatu lembaga kepolisian di suatu daerah tertentu, selain di dukung oleh pemerintah daerah setempat terkait dengan penyelenggaraan kegiatan operasional kepolisian, termasuk dalam hal dukungan anggarannya, pemerintah pusat juga turut bertanggung jawab dalam mendukung pelaksanaan tugas lembaga kepolisian yang ada, terutama untuk kegiatan-kegiatan kepolisian tertentu. Sehingga dalam hal ini sistem birokrasinya di rasakan lebih efektif dan efisien.
2.    Terdapat kecenderungan atau adanya standarisasi dalam hal profesionalisme kepolisian serta tercapainya efektivitas maupun efisiensi dalam bidang administrasi maupun operasional dari lembaga kepolisian yang ada. Hal ini dimungkinkan dapat terwujud dalam Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing) dikarenakan setiap lembaga kepolisian yang ada di setiap daerah meskipun memiliki sifat otonom, namun tetap berada dalam satu struktur lembaga kepolisian nasional. Lembaga kepolisian nasional tetap membawahi lembaga kepolisian daerah meskipun lembaga kepolisian daerah dalam pelaksanaan tugas operasionalnya lebih intens dengan pemerintah daerah masing-masing. Dengan begitu, standarisasi profesionalisme kepolisian tetap dapat ditentukan karena adanya satu peraturan perundang-undangan yang sama yang mengatur lembaga kepolisian secara nasional.
3.    Sistem pengawasannya dapat dilakukan secara nasional, mengingat terdapat keterlibatan pemerintah pusat di dalam sistem kepolisian dengan paradigma tersebut. Hal ini dikarenakan dalam sistem kepolisian yang terpadu, pemisahan hanya terjadi dalam hal-hal yang terkait dengan fungsionalisasi operasional kepolisian, namun secara struktural tetap berada dalam satu wadah lembaga kepolisian nasional, sehingga memungkinkan terjadinya pengawasan oleh pemerintah pusat disamping oleh pemerintah daerah setempat.
4.    Koordinasi tiap-tiap wilayah mudah dilakukan karena adanya komando yang lebih tinggi di atas komando lokal. Hal ini dikarenakan lembaga kepolisian yang berada di daerah-daerah masih berada di bawah satu komando lembaga kepolisian nasional yang berada di pusat, sehingga secara berjenjang terdapat sistem komando yang berlapis dari struktur terbawah hingga teratas.

Namun di sisi lain terdapat pula beberapa kelemahan atau kekurangan dari sistem kepolisian terpadu (Integrated System of Policing) tersebut, antara lain :
1.    Pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan tetap secara terpisah atau berdiri sendiri artinya bahwa antara lambaga kepolisian daerah tidak bisa memasuki wilayah hukum daerah lain dalam menegakkan hukum. Hal ini dikarenakan pelaksanaan penegakan hukum telah ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa lembaga kepolisian lokal di suatu daerah hanya dapat menangani kasus-kasus kejahatan dan melakukan penegakan hukum yang terjadi di daerahnya saja. Sedangkan jika terjadi suatu kasus kajahatan yang melibatkan lebih dari satu daerah atau mempunyai implikasi terkait kepentingan yang lebih luas, maka penanganannya dapat dilaksanakan oleh lembaga kepolisian di atasnya. Jadi disamping hal ini merupakan suatu kelemahan, namun juga terdapat kelebihan karena adanya pembagian wewenang yang sedikit samar di antara setiap jenjang struktur lembaga kepolisian yang ada.
2.    Kewenangan kepolisian yang dimiliki juga bersifat terbatas hanya sebatas daerah di mana polisi tersebut berada atau bertugas. Hal ini tentunya akan menjadi suatu  hambatan dalam penanganan suatu kasus kejahatan manakala terjadi kasus kejahatan yang melibatkan lebih dari satu yurisdikasi kepolisian lokal. Sehingga penanganan kasus tersebut dikhawatirkan tidak dapat dilakukan secara cepat.

Dari uraian tersebut di atas, maka ada beberapa pendapat yang saling mempermasalahkan kedudukan kepolisian Indonesia berada dalam kelompok mana dan idealnya bagaimana. Oleh karena itu memerlukan kajian yang spesifik dan integrated. Kedudukan sistem Kepolisian Indonesia saat ini dapat dikategorikan sebagai Integrated System of Policing dimana Indonesia telah menjadikan posisi Kepolisian menjadi kekuatan yang bersifat Nasional sebagai intstitusi namun juga berkapasitas fragmented (kedaerahan). Mempelajari sistem kepolisian di sebuah Negara tidak lepas dari sejarah Negara yang bersangkutan, sejarah kepolisiannya, UUD dan sistem ketatanegaraan, hukum yang mengatur kepolisian dan hukum yang menetapkan tupoksi serta keadaan lingkungannya. Menurut Dillip K. Das dalam buku “Police Practices: An International Review”, kepolisian di suatu negara adalah unik, karena sistem administrasi kepolisian tidak berdiri sendiri, namun terkait erat dengan sistem administrasi negara, sistem peradilan pidana dan sistem pertahanan negara. Di Indonesia, dalam konteks sistem administrasi negara, Polri langsung berada di bawah presiden (setelah pisah dari TNI), dalam sistem peradilan diatur dalam KUHAP dan hubungan dengan TNI dan sistem pertahanan diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.


Kedudukan kepolisian di Indonesia selalu menjadi kepentingan banyak pihak untuk duduk dan berada dibawah kekuasan. Berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 11/S.D Kepolisian beralih status menjadi Jawatan tersendiri dibawah langsung Perdana Menteri. Ketetapan Pemerintah tersebut menjadikan kedudukan Polisi setingkat dengan Departemen dan kedudukan Kepala Kepolisian Negara (KKN) setingkat dengan Menteri. Dengan Ketetapan itu, Pemerintah mengharapkan Kepolisian dapat berkembang lebih baik dan merintis hubungan vertikal sampai ke tingkat yang paling kecil seperti pada wilayah kecamatan dan desa/kelurahan. Pada masa pemerintahan Orde Baru Kepolisian Republik Indonesia dibenamkan dalam sebuah satuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang bergerak dalam pengaruh budaya militer. Militeristik begitu mengikat karena masa lebih dari 30 tahun kepolisian di balut dengan budaya militer tersebut. Hingga pada tahun 1998 tuntutan masyarakat begitu kuat dalam upaya membangun sebuah pemerintahan yang bersih dan mempunyai keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat. Maka selanjutnya lahirlah masa Reformasi yang akhirnya menghasilkan Tap MPR No.VI Tahun 2000 yang dikeluarkan dan menyatakan bahwa salah satu tuntutan Reformasi dan tantangan masa depan adalah dilakukannya demokratisasi, maka diperlukan reposisi dan restrukturisasi ABRI. Di katakan pula bahwa akibat dari penggabungan di masa Orde Baru, telah mengakibatkan terjadinya kerancuan dan tumpang tindih peran dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan dan Polri sebagai kekuatan Kamtibmas. Padahal pada dasarnya Polri adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Oleh karena itu akhirnya Polri di pisahkan dari TNI, dan di letakkan dalam struktur pemerintahan di bawah Presiden setelah 32 tahun sebelumnya berada dibawah Menhankam/Panglima ABRI. Berdasarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa (1) Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam pemeliharaan kamtibmas, gakkum, serta memberikan perlindungan,pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya Keamanan dalam negeri. Karena dalam Bab II Tap MPR No. VII/2000 menyebutkan bahwa: (1) Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara Kamtibmas, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. (2) Dalam menjalankan perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan ketrampilan secara professional. Artinya Polri bukan suatu lembaga/badan non departemen tetapi Polri langsung berada di bawah kendali Presiden dimana Presiden sebagai Kepala Negara bukan Kepala Pemerintahan.
Lembaga Kepolisian memiliki pesona daya paksa yang tinggi, yaitu: Pertama, kepolisian merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam suatu masyarakat. Lembaga Kepolisian dapat mengintervensi dan memaksakan kehendaknya kepada warga Negara dan atau kepompok yang ada di dalam masyarakat, bahkan kalau perlu, lembaga kepolisian memiliki keabsahan untuk menggunakan kekerasan fisik dalam memaksakan kepatuhan masyarakat atas peraturan-peraturan yang berlaku. Kedua, kekuasaan yang besar diperoleh karena Lembaga Kepolisian merupakan kelembagaan yang berinteraksi dengan kepentingan umum. Sebagai lembaga yang selalu menjaga kepentingan umum, kepolisian dapat melaksanakan kehendaknya melawan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok di masyarakat yang lebih kecil untuk menciptakan ketentraman bagi keseluruhan masyarakat.
Standar yang harus dipakai dalam kerangka system adalah menempatkan system demokrasi sebagai sistem yang ideal dibandingkan dengan system lainnya yakni system otoriter. Pandangan tentang begitu positifnya demokrasi adalah bahwa system ini telah terbukti baik dalam mengatur umat manusia dan lembaga-lembaga Negara didalamnya selama berabad-abad lamanya. Kepolisian adalah lembaga netral yang tidak boleh mengintervensi spesifikasi lembaga yang lainnya. Lembaga kepolisian harus dapat berperan melindungi dan berdiri dalam semua golongan social masyarakat. Menurut max Weber bahwa Negara adalah lembaga kemasyarakatan yang berhasil memiliki monopoli hukum untuk menggunakan daya paksa di suatu entitas dan kekuatan.  Konsep kekuasaan sebenarnya telah lama dirumuskan oleh para filsuf, Plato, Aristoteles dan lainnya. Cita-citanya adalah di mana kekuasaan dapat menjadi pimpinan dan mengendalikan orang-orang yang berilmu. Mengingat menurut Plato bahwa kekuasaan itu memang jahat dan rakus. Thomas Hobbes juga mengatakan bahwa masyarakat itu serigala bagi yang lainnya karena itu harus dikendalikan oleh Negara yang kuat, dalam hal ini kepolisian sebagai pengemban keamanan negara. Dengan Negara yang kuat, maka akan menghasilkan ketertiban sosial dan hukum.
Nilai-nilai kekuasaan yang terkandung dalam demokrasi tak lagi memberikan pengayoman kepada masyarakat. Karena kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah adalah multak milik rakyat. Sehingga pemerintah sebagai penguasa atau pemegang kekuasaan Negara sebagaimana transisi yang terjadi di Indonesia harus dijalankan sebagai mana mestinya, artinya tidak perlu adanya intervensi kekuasaan didalamnya. Karena itu pendekatannya harus berdasarkan aturan hukum yang adil, dengan demikian hukum harus melindungi segenap rakyatnya. Perlindungan itu sendiri dijalankan berdasarkan undang-undang. Tetapi faktanya rakyat itu memang cenderung melakukan intervensi untuk kepentingannya sendiri. Dalam kosep Griddle (1966) juga menjelaskan banyaknya motivasi kekuasaan politik terhadap lembaga atau peluang untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarnya (rent seeking politician). Bagi kepolisian sebagaimana tugas pokok yang diamanatkan dalam undang-undang dengan system kekuasaan yang mengkembiri nilai-nilai yang dibawa dalam kerangka tugas kepolisian akan menjadikan polisi sebagai sebuah lembaga dengan system yang keliru. Karena telah membalikan fakta rasional dengan kondisi yang diharapkan oleh masyarakat.
William Doener dan M.L. Dantzker, dalam bukunya ” contemporary Police Organization and Management, Issues and Trends“, menyatakan bahwa “Ketika pengamat membandingkan Sistem Kepolisian Amerika bagaimana penegakaan hukum dijalankan di lain Negara, satu kunci perbedaan segera dapat dilihat bahwa Kepolisian Amerika sangat terpisah, desentralisasi organisasi. Sebagai contoh, banyak Negara mengadopsi satu organisasi,biro, atau departemen untuk menegakkan hukum secara nasional.”
Jika kita lihat Sistem Kepolisian di negara Amerika Serikat sangat dipengaruhi pada kondisi  bentuk negara nya yang bertipe Negara Federal berbentuk Republik dan juga dipengaruhi oleh sistem Pemerintahan nya. Di Amerika Serikat kekuasaan negara memiliki ciri adanya penyerahan sebagian kekuasaan negara bagian,yang semula sebagai pembentuk negara Federal.Karena itu,negara bagian di Amerika Serikat (state) memiliki kekuasaan untuk membentuk Pemerintahan Daerah (local Goverment). Dengan bentuk Negara dan Pemerintahannya itu,Sistem Kepolisian yang berlaku di Amerika Serikat adalah sistem dengan paradigma Fragmented System of Policing atau sistem Kepolisian terpisah/berdiri sendiri. Dimana dalam sistem ini, terdapat kekhawatiran penyalahgunaan dari suatu organisasi Kepolisian yang otonom, karena itu dilakukan pembatasan kewenangan Kepolisian, karena nya sistem ini juga dikenal dengan nama sistem desentralisasi yang ekstrem atau tanpa sistem,seperti hal nya yang disampaikan Bruce Smith yang menyatakan bahwa ”di AS yang ada adalah sistem-sistem Kepolisian , tidak ada sistem Kepolisian Amerika. Tanggung jawab kamdagri ada pada masing-masing Pemerintah atau tanggung jawab bersama3

Sistem Kepolisian yang di terapkan oleh Amerika Serikat adalah unik namun sudah sesuai dengan standar dunia. There are approximately twenty thousand state and local police agencies in the United States (Maguire, et al.; Reaves and Goldberg, 1999). Ada sekitar lebih dari dua puluh ribu lembaga kepolisian lokal yang ada di Amerika Serikat (Maguire, et al; Reaves dan Goldberg, 1999). Negara Other English-speaking democracies have a much smaller number: Canada has 461, England has forty-three, India has twenty-two, and Australia has eight (Bayley).deededemokrasi berbahasa Inggris lainnya memiliki lembaga kepolisian dengan jumlah jauh lebih kecil: Kanada memiliki 461, Inggris memiliki empat puluh tiga, India memiliki dua puluh dua, dan Australia memiliki delapan (Bayley).Furthermore, the majority of police agencies in the United States are only loosely connected to one another. Selain itu, sebagian besar lembaga kepolisian di Amerika Serikat bersifat terbuka juga dalam menjalin hubungan kerjasama antara satu sama lain. Many have overlapping jurisdictions at multiple levels of government, including city or town, township, county, state, and federal agencies.Namun begitu, di negara Amerika Serikat menjadi banyak yurisdiksi yang tumpang tindih di berbagai tingkat pemerintahan, termasuk kota atau kota, kota, daerah, negara, dan badan-badan federal. The majority are general-purpose agencies with responsibility for patrolling a certain area, responding to calls from citizens, and investigating certain offenses. Di Amerika Serikat banyak kita lihat berbagai macam seragam dan nama lembaga kepolisian seperti misalnya LAPD, NYPD, Sheriff, dan masih banyak lagi lainnya. Sebagian besar, lembaga kepolisian tersebut adalah yang bertugas pokok untuk kepentingan umum masyarakat yaitu tanggung jawab untuk patroli area tertentu, menanggapi panggilan dari warga, dan menyelidiki pelanggaran tertentu. Namun beberapa lembaga kepolisian juga ada yang tidak melaksanakan semua tugas kepolisian. Sebagai contoh, lembaga sheriff di beberapa negara bagian tidak menyediakan patroli polisi, tetapi menyediakan berbagai layanan lain terkait tugas kepolisian, antara lain menjaga penjara, menjaga jalannya persidangan, menyediakanbantuan pengawalan, dan bantuan investigasi pada lembaga kepolisian setempat. Dengan sistem seperti ini, maka di Amerika Serikat dalam upaya untuk menangani kasus-kasus tindak pidana tertentu, terutama yang melibatkan lebih dari satu yurisdiksi maupun yang termasuk dalam kategori national ataupun transnational crime, pemerintah Amerika Serikat membentuk badan-badan kepolisian federal yang memiliki wewenang meliputi seluruh daerah di Amerika Serikat. Untuk bentuk-bentuk kejahatan khusus seperti kejahatan khusus, sabotase, mata-mata dll diselenggarakan oleh lembaga Kepolisian Federal seperti FBI, US.DEA, US.Marshal, dan US.Atorney General, US.Secret Service dll, dimana lembaga-lembaga Kepolisian ini berada dibawah beberapa Departement. For instance, sheriffs' agencies in some states do not provide police patrol, but do provide a variety of other related services: running jails, guarding courtrooms, or providing canine service, undercover deputies, or investigative assistance to local police agencies.These variations in the size, type, and function of American police agencies make it difficult to establish an ideal method of organization and management applicable to all agencies.Variasi dalam jenis, ukuran, dan fungsi lembaga kepolisian Amerika membuat sulit untuk mendirikan sebuah metode ideal organisasi dan manajemen yang berlaku untuk semua instansi. Perbandingan sistem kepolisian Amerika Serikat dan Indonesia:
  1. Bentuk negara Amerika Serikat adalah negara Federal yang memiliki 50 negara bagian,sedangkan Indonesia adalah negara Republik dengan 33 Provinsi yang terintegrasi didalamnya. Bentuk ini menyebabkan ada banyak sekali lembaga kepolisian di negara Amerika Serikat, dan tiap-tiap lembaga Kepolisian tersebut berdiri sendiri.Sedangkan di Indonesia lembaga Kepolisiannya bersifat Nasional.
  2. Negara bagian Amerika Serikat memiliki kewenangan untuk mengatur dan membuat undang-undang termasuk mengatur masalah keamanan dan ketertiban di wilayahnya hal ini menyebabkan Kepolisian State di USA sangat sesuai dengan karakteriastik masyarakat nya,hal ini berbeda dengan Indonesia dimana provinsi tidak memiliki kewenangan untuk mengatur masalah Kepolisian,sehingga peraturan perundang-undangan yang berlaku bersifat Nasional.
  3. Kepolisian di Amerika Serikat adalah berdiri sendiri tidak bergantung kepada Negara Federal/Kepolisian Pusat terkecuali untuk kasus-kasus yang sifatnya tertentu seperti kasus Narkoba,Terorisme, dan sebagainya.Berbeda dengan Indonesia dimana Mabes Polri dapat melaksanakan penanganan kasus apapun di seluruh provinsi. Dengan mengikutsertakan atau tidak anggota-anggota dari Kepolisian Daerah (Polda)
  4. Kewenangan Kepolisian State hanya terbatas pada wilayah negara bagian itu saja,tidak seperti kewenangan Kepolisian Daerah (Polda) yang dapat melakukan dan menangani kasus yang locus delicti nya tidak berada di Provinsinya,seperti halnya pengembangan kasus.
  5. Negara bagian dapat dan berwenang untuk mengucurkan dana untuk lembaga Kepolisian,sehingga lembaga Kepolisian di tingkat negara bagian tidak perlu mengajukan anggaran ke pusat yang melewati birokrasi berbelit-belit.Di Indonesia Kepolisian Daerah tidak dapat mengajukan anggaran kepada Pemerintahan Daerah di tingkat provinsi sehingga masalah pendanaan harus diakjukan langsung ke pusat dengan birokrasi yang panjang dan lama.
  6. Kepolisian di Amerika Serikat diantara negara bagian tidaklah sama,hal ini bergantung dengan bentuk perundanga-undangan yang diatur negara bagian terasebut,termasuk masalah seragam dan standard Kepolisian,berbeda dengan Indonesia dimana standard Kepolisian diatur secara Nasional sehingga ada kesamaan dan standarisasi operasional dari tingkat pusat sampai dengan ke tingkat kelurahan sekalipun termasuk masalah seragam
Negara lain yang juga dapat kita pelajari sistem kepolisiannya adalah negara Jepang. Negara Jepang adalah sebuah negara kepulauan dengan kondisi geografis yang mirip dengan Indonesia,sebagai sebuah negara kepulauan dengan bentuk Kerajaan yang dipimpin oleh seorang Kaisar dan menganut paham Demokrasi Liberal.Sedangkan Kepala Pemerintahannya dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dipilih oleh Dewan/Kamar Perwakilan.
Sistem Kepolisian yang dianut oleh Jepang adalah sistem Kepolisian dengan paradigma Integrated System of Policing, yakni merupakan sistem kontrol / pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional, serta agar lebih efektif, efisien, dan juga seragam dalam pelayanan. Sistem ini juga dikenal dengan nama Desentralisasi Moderat atau sistem Kombinasi (Terri,1984) atau sistem Kompromi (Stead,1977).
Organisasi Kepolisian Pusat di Jepang disebut sebagai National Police Organization (NPO) yang terdiri dari National Public Safety Commision (NPSC) dan National Police Agency (NPA). NPSC adalah suatu badan pemerintahan yang bertanggung jawab di bidang supervisi administratif terhadap NPA. Sedangkan NPA memiliki tugas dalam menjaga koordinasi antar Prefektur Police Headquarter (PPH), merencanakan UU Kepolisian dan lain sebagainya. NPA adalah lembaga setingkat Mabes Polri di Indonesia, dan PPH setingkat dengan Polda. NPA di Jepang benar-benar memberdayakan fungsi dari PPH dalam melaksanakan tugas Kepolisian pada umumnya di masing-masing wilayah Prefektur tersebut. Pemerintahan Nasional juga mengoptimalkan organisasi Kepolisian Pusat (NPA) untuk mengkontrol dan melayani organisasi PPH. Sistem kepolisian Jepang walaupun standar kerja ditetapkan secara nasional tetapi aplikasinya didesentralisasikan, dan didasarkan kepada kebutuhan/kekhasan masyarakat setempat. Sistem ini disebut juga sebagai sistem Desentralisasi moderat/sistem kombinasi (Terri, 1984) atau sistem kompromi (Stead, 1977). Yaitu merupakan sistem kontrol/pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi polisi nasional, agar lebih efektif, efisien dan seragam dalam pelayanan. Pada tingkat daerah, berdasarkan UU Kepolisian Kota bahwa masing-masing Prefektur memiliki organisasi Kepolisian Prefektur (PPH) yang mengemban tugas-tugas Kepolisian di wilayahnya. NPA (National Police Agency) tetap membawahi lembaga kepolisian daerah PPH (Prefektur Police Headquarter), meskipun PPH dalam pelaksanaan tugas operasionalnya lebih intens dengan pemerintah daerah masing-masing. Dengan begitu, standarisasi profesionalisme kepolisian tetap dapat ditentukan karena adanya satu peraturan perundangundangan yang sama yang mengatur lembaga kepolisian secara nasional. Di tingkat Prefektur selain memiliki organisasi Kepolisian Prefektur (PPH), juga terdapat Prefectural Public Safety Commision sebagai badan pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap supervisi administratif Kepolisian Prefektur.  Pada Kepolisian Prefektur juga membawahi Police Station (setingkat Polres) yang memiliki fungsi pelaksanaan Koban dan Chuzaisho, dimana fungsi ini sedang digalakkan pada sistem Kepolisian Indonesia. Di Jepang, Police Station hanya dapat melakukan penegakan hukum di lingkup wilayah daerahnya saja. Sedangkan jika terjadi suatu kasus kajahatan yang melibatkan lebih dari satu daerah atau mempunyai implikasi terkait kepentingan yang lebih luas, maka penanganannya dilaksanakan oleh Perfektur (PPH) yang tetap dalam pemantauan dari NPA. Namun pembagian wilayah penanganan kasus tersebut tidak kaku. Bila terdapat kasus yang meliputi daerah perbatasan antara dua atau lebih Perfektur, maka PPH tersebut dapat memperluas wewenangnya melewati wilayah kerja PPH lain yang berdampingan atau berdekatan dengan wilayah PPH tersebut untuk menangani kasus yang terjadi di wilayah perbatasan mereka (hanya terbatas sampai wilayah yang jaraknya dari garis perbatasan telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah) dengan mempertimbangkan persamaan kondisi sosial dan ekonomi, faktor geografis, dan lain-lain, berdasarkan hasil yang telah ditentukan pada rapat antar Kepala PPH. Namun ada catatan dimana bila PPH bermaksud menjalankan wewenang sampai ke wilayah hukum PPH lain, maka harus menjaga hubungan dengan Kepolisian Prefektur (PPH) lain tersebut. Demikian pula jika terjadi kasus transnational crime maka lembaga kepolisian PPH yang akan menanganinya dengan mendapat petunjuk dari NPA. Jadi pembagian wewenang tetap jelas meskipun pelaksanaan tugas lebih dominan bersifat otonom di antara setiap jenjang struktur lembaga kepolisian yang ada. Dapat di disimpulkan perbandingan Kepolisian Jepang dan Indonesia adalah:
  1. Jepang adalah Negara dengan sistem Kekaisaran sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan, sedangkan Indonesia adalah negara Republik dengan Kepala Negara/Kepala pemerintahannya adalah Presiden.
  2. Jepang memiliki Lembaga Kepolisian Pusat dan Kepolisian pada tingkat daerah/Prefektur dimana setiap daerah/Prefektur memiliki kewenangan untuk mengatur Operasional Kepolisiannya sendiri namun hanya sebatas masalah-masalah tertentu, sedangkan Lembaga Kepolisian Indonesia meskipun segala urusan Kepolisian baik itu sifatnya administratif dan Operasional masih tetap terikat dalam aturan yang terpusat, diatur secara Nasional oleh Mabes Polri, namun kepolisian daerah sudah mulai dapat menerapkan kreasi dan inovasi dalam pelaksanaan tugas kepolisian si daerahnya masing- masing yang di sesuiakan dengan karakteristik wilayah masing-masing..
  3. dalam Kepolisian Jepang, kewenangan Kepolisian Prefektur terbatas pada wilayah Prefekturnya saja, namun apabila terjadi tindak kejahatan yang sifatnya melibatkan lebih dari satu prefektur maka dapat dikoordinasikan oleh NPA sebagai Kepolisian pusat dengan bekerja sama antara Kepolisian Prefektur tersebut. Untuk di Indonesia, Kepolisian Daerah dapat melakukan tindakan dalam rangka penuntasan tugas kepolisiannya dengan melakukan penangkapan diluar wilayah Poldanya, terutama pada kasus-kasus kejahatan dimana pelakunya melakukan kejahatan diwilayah satu Polda kemudian melarikan diri ke wilayah Polda lain.
  4. Di jepang pemilihan kepala kepolisian dan pembinaan masalah anggaran dilakukan  oleh komisi kepolisian sebagai buffer penyeleksi penyangga intervensi kekuatan politik maupun yang lain dari presiden. Di Indonesia ada perbedaan peran antara DPR dengan Kompolnas dimana DPR hanya mempunyai hak untuk ikut memberikan masukan kepada presiden mengenai calon Kapolri, sama dengan Kompolnas yang juga adalah pihak pengawas yang bertanggung jawab kepada Presiden. Namun hak prerogatif sepenuhnya ada pada Presiden untuk memilih dan mengangkat Kapolri.
  5. Setiap lulusan Kepolisian di Jepang wajib untuk langsung bekerja pada Koban sebagai Polisi Koban dan mereka wajib untuk melaksanakan kegiatan community policing kepada masyarakat sebagai aplikasi kepolisian yang humanis, sedangkan di Indonesia setiap lulusan Sekolah Kepolisian, baik itu bagi perwira maupun bagi seorang bintara Polisi, tidak harus masuk ke fungsi Samapta atau Binmas, namun mereka lebih di tekannka pada tugas kepolisian represif dalam satuan fungsi –fungsi Operasional seperti fungsi Intelijen, Reserse Kriminal, Reserse Narkoba ataupun fungsi Lalu lintas.

Lembaga Kepolisian Indonesia bukan merupakan Kepolisian yang total sentralistis. Sudah semenjak 20 tahun yang lalu, Polri sudah mulai melakukan desentralisaai administrative dengan menetapkan Polres sebagai Kesatuan Operasional Dasar ( KOD), yaitu kesatuan yang paling dekat berhubungan dengan masyarakat bertugas sepenuhnya bertanggung jawab atas seluruh tugas pokok Kepolisian. Sedangkan Polsek adalah Kesatuan terkecil yang setingkat dengan Kecamatan / Desa, yang bertugas untuk mengemban seluruh tugas pokok Kepolisian sampai ke tingkat Desa, terutama untuk melindungi dan melayani masyarakat. Desentralisasi Administrratif akan memberi lebih banyak otoritas kekuasaan kepada Polres. Kejahatan sekarang sudah semakin canggih, tidak mengenal batas wilayahatau bahkan Negara ( transnasional crime). Dengan perkembangan jaman ini, maka ada juga kejahatan yang ditangani oleh Polsek sampai Mabes Polri secara berjenjang. Tetapi fungsi utama dari kesatuan yang lebih atas adalah memberikan arahan dan bantuan tekhnis kepada satuan bawah, bukan intervensi. Satuan atas juga berperan untuk menerbitkan petunjuk tekhnis dan petunjuk lapangan bagi tugas-tugas kepolisian sehingga standarisasi profesionalisme kepolisian tetap dapat ditentukan dan di tingkatkan karena adanya satu peraturan perundang-undangan yang sama yang mengatur lembaga kepolisian secara nasional. Desentralisasi dalam lingkungan organisasi Polri diatur dalam Pasal 10 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mengatur konsep tentang pendelegasian wewenang Polri yang menganut pengertain “desentralisasi administrative“. Pasal 10 (1) ini mengatakan bahwa : “Pimpinan Negara Republik Indonesia di daerah hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat(2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan weweang kepolisian secara hierarkhie. Dalam rangka menetapkan strategi dan kebijakan pembangunan kekuatan untuk meningkatkan kemampuan operasional satuan kewilayahan agar mampu melaksanakan tugas pokoknya secara professional, maka Mabes Polri dijadikan pusat pengembangan dan penetapan kebijakan strategis secara nasional, polda seabagi kesatuan yang memiliki kewenangan penuh,polres sebagai basis pelayanan masyarakatdan polsek sebagai ujung tombak operasional yang langsung mengendalikan anggotanya di lapangan sebagai pengemban diskresi kepolisian. Terkait dengan otonomi daerah, strategi pembinaan kekuatan sangat berhubungan erat dengan kemampuan operasional kewilayahan polda, polres dan polsek yang berada di lapangan untuk melakukan tindakan kepolisian secara penuh dan jelas. Berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah bahwa pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat di daerah merupakan tanggungjawab Pemerintah Daerah dan Kepolisian di daerah. Meskipun demikian sesuai pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 juga dikatakan bahwa Kewenangan di bidang keamanan yang menjadi tanggungjawab kepolisian merupakan kewenangan pemerintah pusat. Jadi tetap garis komando dalam satu rangkaian Kepolisian Nasional. Penggunaan kekuatan ini sangat tergantung kepada kemampuan professional anggota polri di lapangan. Ketika hal ini terjadi, dimana sejak otonomi daerah dijalankan, dan Pemda memiliki kewenangan penuh atas penegakan perda melalui Polisi pamong prajanya dan dishub untuk penertiban parkir, Polri terbentur dengan perbedaan pendapat dan pemahaman masalah penegakan perda dengan peraturan nasional/undang-undang. Dalam hal lain juga, Polri harus memberikan sedikit dari sekian banyak wewenangnya, kepada para perusahaan penjual jasa keamanan (dalam konteks ini adalah perusahaan-perusahaan yang memiliki kuantitas dan kualitas sesuai standart) untuk turut serta menjaga aset-aset swasta yang ada di wilayah. Dengan banyaknya tugas-tugas Polri yang di ambil alih oleh beberapa hal di atas, maka Polri harus semakin meningkatkan profesionalisme kerjanya. Dengan harapan, personil Polri dapat lebih fokus dalam upaya pencapaian Polri yang Profesional yang di aplikasikan melalui program-program dari Mabes Polri yang berkelanjutan. Polres dan Polda sendiri, saat ini sudah dapat melakukan operasi Kepolisian mandiri kewilayahan sendiri, yaitu jenis operasi kepolisian khusus, yang dapat dilakukan oleh kekuatan polres atau polda, disesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan dalam hal keamanan dan perkembangan situsi di wilayahnya masing-masing. Hal ini tentunya disesuaikan juga dengan karakteristik dari wilayahnya masing-masing. Selain itu juga dilakukan kerjasama dengan pihak pemerintah daerah setempat, ketika dalam periode pemilihan umum daerah yang sejak masa pentahapan sudah harus diproses dan membutuhkan keamanan, maka Polda atau Polres dapat membantu secara mandiri ataupun meminta bantuan dari kesatuan yang ada di atasnya dalam rangka terciptanya kondisi keamanan yang stabil dan menjamin agar proses tersebut berjalan dengan lancar. Namun dalam hal ini, seringkali terbentur oleh masalah penggunaan kekuatan yang tidak seimbang karena terbatasnya anggaran, sehingga yang terjadi adalah seringkali pihak otonomi daerah di pemda yang mempunyai kekuasaan dan ingin juga terlibat sebagai calon dalam pemilukada ( incumbent), melakukan upaya-upaya agar pihaknya diberikan privilege, atau keleluasaan bergerak dan perlindungan khusus, dimana mereka dapat melakukan praktek-praktek yang sebenarnya tidak boleh dilakukan atau bahkan melanggar tata tertib pemilihan umum daerah bahkan hukum, namun mereka seringkali menawarkan anggaran pengamanan yang cukup besar sehingga resikonya terjadi ketidak objektifan target pengamanan dalam proses pemilihan kepala daerah.
Dengan membandingkan dengan ciri-ciri dari ketiga sistem kepolisian yang ada, maka saat ini menurut saya, Lembaga Kepolisian Indonesia sudah termasuk dalam paradigma sistem kepolisian terpadu atau Integrated System of Policing, yaitu sistem kepolisian yang menerapkan sistem yang terpadu atau sering disebut juga sistem desentralisasi moderat atau sistem kombinasi (Terri, 1984) atau sistem kompromi (Stead, 1977). Dalam pelaksanaannya, Lembaga Kepolisian Indonesia meskipun secara administratif dan komando sistemnya masih tetap terpusat, namun Polri sudah mulai memberikan keleluasaan kepada kepolisian daerah untuk berperan aktif dan berinovasi yang baik dalam mendukung pelaksanaan tugas-tugas kepolisian di daerahnya masing-masing, dengan berkoordinasi kepada pemerintahan daerah setempat.

 III. KESIMPULAN

Kepolisian Indonesia saat ini Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memasuki tahap yang memberi arah yang civilian, dimana pendekatan kemasyarakatan begitu kental terarah dalam setiap pasal dan bab yang ada dalam undang-undang kepolisian. Karena telah melihat kondisi terbalik pada masa Orde Baru yang cukup panjang, sehingga salah satu tuntutan reformasi tahun 1998 adalah mereposisi kepolisian secara utuh. Saat ini sudah hampir mendekati sistem Kepolisian ideal yang diharapkan oleh anggotanya sendiri maupun masyarakat, kemandirian Polri sudah dilaksanakan dan terpisah dari ABRI, dan sekarang yang perlu dilakukan Polri adalah melakukan peningkatan sumber daya manusianya serta melakukan pembenahan secara maksimal. Program-program yang dilaksanakan dalam tugas kepolisian di kewilayahan sudah dapat dilihat hasilnya, sementara yang perlu dan wajib dilakukan adalah adanya penyederhanaan sistem birokrasi untuk pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan Masyarakat melalui langsung maupun tidak langsung bisa dilakukan dan disederhanakan dengan melakukan efisensi dan efektifitas yang terkait dengan penggunaan tekhnologi Kepolisian yang maksimal dan up to date. Pengawasan juga diperlukan dalam rangka menjaga supaya tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam praktek-praktek kerja di lapangan.
Akhirnya dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik tentu akan menempatkan kepolisian dalam sebuah kerangka yang benar, agar pembangunan system kepolisian mengarah pada posisi ideal. Banyak pengaruh politik dalam sistem kepolisian yang tidak dapat diabaikan dengan begitu saja. Karena posisi kepolisian dalam sistem kenegaraan mempunyai arti yang signfikan, dimana kepolisian menjadi garda terdepan yang memberi peluang hubungan pemerintah dengan masyarakat dalam banyak kepentingan. Maka didapatkan suatu pemahaman bahwa tidak ada suatu sistem kepolisian yang sempurna karena masing-masing sistem kepolisian tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dengan adanya kelebihan yang dimiliki dalam suatu sistem kepolisian tertentu, maka selayaknya dapat difungsikan sebagai kekuatan (strength) dan peluang (opportunity) yang harus dioptimalkan eksistensinya guna menutupi atau mengeliminasi kelemahan (weakness) yang dimiliki dalam sistem kepolisian tersebut. Kelebihan yang dimiliki harus dikelola dengan baik sehingga tidak justru dapat menimbulkan ancaman (threat) baru bagi operasionalisasi sistem kepolisian tersebut, melainkan dapat lebih mengoptimalkan peran dan fungsinya dalam mewujudkan kemanan dan ketertiban serta kenyamanan dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

  1. Awaluddin Djamin, Posisi Polri dalam Kabinet Persatuan, Jurnal Polisi Indonesia, nomor 4 tahun 2002
  2. Awaloedin Djamin,2009. Kedudukan Kepolisian Negara RI Dalam Sistem KeTata Negaraan : Dulu,Kini dan Esok.
  3. Awaloedin Djamin, ____. Polri Pasca Amandemen UUD 1945 (antara Ideal dan Praktek)”
  4. Awhil Luthan,2000. Perbandingan Sistem Kepolisian di negara-negara Demokratis
  5. Farouk Muhammad,2003. Menuju Reformasi Polri
  6. Farouk Muhammad, Reformasi Kultural Polri Dalam Konteks Pergeseran Paradigma Kepolisian abad 21, Pidato pengukuhan profesor, PTIK, 18 September 2004.
  7. Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian,2000.Perbandingan Sistem Kepolisian
  8. Sidratahta Mukhtar, Manajemen Keamanan Negara I dan II, makalah, FGD Propatria, dalam pembahasan RUU Kamnas, November 2005.
  9. -------------- Sidratahta Mukhtar, Posisi Polisi Sebagai Kelompok Kepentingan Institusional dalam Negara, Jurnal Studi Kepolisian, PTIK, 2004.
  10. Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
  11. Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
  12. http://mochnasirwdw2000.blogspot.com/2010/11/analisis-sistem-kepolisian-negara.html
  13. http://www.scribd.com/doc/25062921/Perbandingan-Sistem-Kepolisian-Amerika-Serikat-Jepang-Indonesia
  14. http://thamrin.wordpress.com/2006/11/17/10-prinsip-good-governance/
  15. http://ferli1982.wordpress.com/2010/12/23/perbandingan-sistem-kepolisian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar